Oleh: Sibt Umar
Mahasiswa tingkat 3 Fak. Ushuluddin – Universitas Imam Syafi’i, Mukalla, Hadhramaut, Yaman.
Nafashadhramaut.id | Hiruk pikuk pembeli membanjiri pasar Syam kala itu. Sy. Abdullah beserta kafilah dagang lain yang datang dari Jazirah Arab pun tak mau melewatkan kesempatan ini dengan menawarkan barang dagangnya berupa kurma dan lain-lain, setidaknya bisa meraup pecahan dinar untuk istrinya (Syh. Aminah) yang sedang mengandung.
Merasa cukup atas hasil yang
didapatkan, Sy. Abdullah beserta
kafilahnya pun memutuskan untuk kembali ke Makkah dengan membawa beberapa
pecahan dinar.
Sesampainya mereka di kota Madinah,
Sy. Abdullah mengeluh atas sakit yang dideritanya. Ia pun memutuskan tuk
singgah ke rumah kerabat dari ayahnya di Madinah guna beristirahat serta menjalani perawatan atas penyakitnya.
Sebulan bermukim di Madinah, ajal
pun menjemputnya dalam usia yang dikatakan masih muda: 25 tahun, serta
dimakamkan di perkampungan Adiy bin Najjar yang ada di sana.
Kemudian, muncul dalam benak
seseorang, “Kenapa sang Rasul mulia terlahir dalam keadaan yatim? Adakah
rahasia ilahi atas ketetapannya?”
Setiap ketetapan ilahi pastilah
tersimpan di dalamnya hikmah yang diinginkan-Nya. Adapun hikmah dari
terlahirnya sang Rasul mulia dalam keadaan yatim, pakar sejarah serta ulama
tarikh menyebutkan:
Hikmah yang
pertama: “Buah karunia serta nikmat Ilahi atas kekasih-Nya.”
Membuktikan statement ini, firman
Allah Swt. ketika mengingatkan sang kekasih atas kenikmatan yang telah
diberikan kepadanya:
((ألم يجدك يتيماً فآوى))
“Bukankah Ia
(Allah) yang telah menemuimu dalam keadaan yatim lantas merawatmu
(Rasulullah).” (Ad-Dhuha: 6).
“Akankah
disebut karunia, seorang yang terlahir tanpa belaian kasih seorang ayah?” dalam
benakku.
Al-Imam Ali bin
Muhammad al-Baghdadi al-Khozin menjawab dugaanku tersebut dalam tafsirnya,
“Kenikmatan
tersebut dikategorikan sebagai sebuah karunia ilahi kepada sang kekasih
(meskipun terlihat sebuah petaka dalam pandangan makhluk). Allah Swt. hendak
menguatkan hati sang kekasih serta ingin selalu mencurahkan perhatian dan kasih-Nya
terhadap Rasulullah. Seakan sang Rabb berkata, ‘Jangan kau sesali atas takdirku
(kau terlahir dalam keadaan yatim), bukankah Aku sendiri yang telah merawatmu?
Aku sendiri yang menjagamu di kala kau kecil dan yatim? Janganlah kaukira Aku
(Rabb) melupakan serta menelantarkanmu ketika kautumbuh besar.’ Maka
terlihatlah perbedaan karunia Ilahi terhadap kekasih-Nya dibanding karunia-Nya
terhadap selainnya.” (lihat: Tafsir Al-Khozin 4:439, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).
Hikmah yang
kedua: “Allah tak ingin kasih serta perhatian-Nya kepada sang kekasih terbagi
dengan makhluk-Nya.”
Menguatkan pernyataan di atas, ada
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sy. Abdullah bin Abbas, ia berkata,
“Ketika ayah Rasulullah wafat, para malaikat bertanya, ‘Wahai Rabb, kau
biarkan nabimu serta kekasihmu terlahir dalam keadaan yatim?’ Allah Swt.
menjawab, ‘Aku sendiri yang akan menjaga, menolong, memperhatikan serta
merawatnya.” (dinukil dari kitab: as-Sirah an-Nabawiyah oleh Sayid Ahmad Zainiy
Dahlan, 1:44, cet: Muassasah Al-Kutub ats-Tsaqafiyah).
Serta, hikmah
inilah yang dimaksudkan syair dalam syiirnya:
أخذ اﻹله أبا الرسول ولم يـــــزل # برســـوله الفـــــــرد اليتيم رحيــــــماً
نفســـــي الفداء لمفرد في يتــــمه # والدر أحسن ما يكون يتيــــمــــاً
“Tuhan telah
mencabut nyawa ayah sang Rasul, hingga Dia sendiri mengasihi sang Rasul yang
yatim.”
“Demi jiwa yang
bersemayam di raga bagi sang Rasul yang terlahir yatim (sendiri), bukankah sebaik-baik
berlian ialah berlian yang tunggal (tanpa selainnya) ?”
Al-Imam Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur
dalam tafsirnya atas sepotong ayat dalam surat ad-Dhuha, berkata, “Dialah
(Allah Swt.) yang telah memperhatikan dan merawatmu, wahai sang Rasul, dalam
bimbingan Ilahi yang sempurna. Sebuah bimbingan yang tak menjadikanmu terlantar
seperti kebanyakan anak yatim umumnya. Sebuah bimbingan Ilahi yang lebih
sempurna dari bimbingan kedua orang tua.” (lihat: Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir,
12:403, cet: Dar Sihnun Tunisia).
Pendapat Imam
Ibnu ‘Asyur sungguh selaras dengan
hadits Nabi Muhammad saw. yang bersabda:
((أدبني ربي فأحسن تأديبي))
“Tuhanku
sendiri yang telah mendidikku dengan sebaik-baik didikan.”
Hikmah yang
ketiga: “Agar tak terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk.”
Sang Ilahi tak ingin kekasihnya
merasa harus berbalas budi kepada seorang makhluk. Tak ingin membebaninya atas
hak-hak yang harus ia penuhi kepada sesama makhluk (semisal hak seorang anak
terhadap ayahnya).
Al-Imam Ja’far bin Muhammad as-Shodiq
-radhiyallahu ‘anhu- pernah ditanya, “Mengapa Nabi terlahir yatim?
Adakah hikmah di balik semuanya?” Ia pun menjawab, “Agar sang Rasul tidak
terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk.” Maksudnya: Hak serta kewajiban seorang anak
setelah balighnya, karena ibunya wafat sebelum ia baligh. (lihat:
as-Sirah an-Nabawiyah oleh Sayid Ahmad Zainiy Dahlan, 1:44, cet: Muassasah al-Kutub
ats-Tsaqafiyah).
Hikmah yang
keempat: “Sang Ilahi ingin membuktikan bahwa kemuliaan Islam yang dicapai oleh
kekasihnya murni dari usaha Rasulullah sendiri, bukan karena nasab, harta
maupun takhta.”
Amanah ilahi berupa syariat Islam
yang diembannya akan tersebar ke seantero jagat raya karena murni sebuah usaha,
ijtihad Rasulullah saw. sendiri yang dibarengi keridhoan Ilahi, tanpa ada
embel-embel kemulian nasab, kekayaan, maupun takhta.
Syekh asy-Syahid Dr. Muhammad Sa’id
Ramadhan al-Buthi (tokoh ulama Suriah) berkata, “Janganlah dikira terlahirnya
sang Rasul dalam keadaan yatim adalah sebuah aib ataupun petaka. Akan tetapi,
di balik itu semua ada sebuah hikmah yang bisa dipetik. Hikmah terpenting yang
bisa dipetik ialah membungkam dugaan orang kafir yang mengatakan bahwa:
‘Tersebarnya dakwah Islam ke penjuru jagat hanyalah karena bimbingan, petunjuk
serta kucuran dana dari ayah ataupun keluarganya yang tergolong sebagai pemuka
Quraisy, bukan dari usahanya sendiri.’ Hikmah yang Allah kehendaki agar dakwah
Islam murni dari nilai-nilai kesukuan, politik maupun indikasi bantuan dari
makhluk, hingga sang Rasul dapat fokus mengemban amanah Ilahi (nubuwwah),
serta terhindar dari pengaruh politik, harta, serta kedudukan yang diperoleh
oleh leluhurnya.” (lihat: Fiqh as-Sirah, hal:45-46, cet: Dar al-Fikr al-Muashir).
Kesimpulan:
“Apa pun momen, perbuatan, ketetapan yang muncul dari diri Rasulullah saw.
tidaklah melainkan sebuah kebaikan dan kesempurnaan. Tidaklah mungkin muncul
dari diri sang Rasul sebuah aib, petaka ataupun keburukan.
Jika
itu semua terjadi, maka tidaklah mungkin sang pemilik semesta alam menyuruh
seluruh hamba-Nya tuk selalu meneladani serta meniru seluruh akhlaknya. Rasulullah
adalah seorang Rasul yang diberi sifat ‘ma'shum’ (terhindar dari segala
kekurangan serta dosa) sama halnya dengan rasul-rasul lainnya.
Semoga
Allah Swt. menyematkan kepada kita sifat husnudzon (positive
thingking) terhadap sesama makhluk-Nya, terlebih-lebih kekasih-Nya, Muhammad bin Abdullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Wallahu
A'lam bisshowab.
Posting Komentar