Jumat, 24 September 2021

SANG RASUL TERLAHIR YATIM, MENGAPA?

Oleh: Sibt Umar

Mahasiswa tingkat 3 Fak. Ushuluddin – Universitas Imam Syafi’i, Mukalla, Hadhramaut, Yaman.           



          Nafashadhramaut.id | Hiruk pikuk pembeli membanjiri pasar Syam kala itu. Sy. Abdullah beserta kafilah dagang lain yang datang dari Jazirah Arab pun tak mau melewatkan kesempatan ini dengan menawarkan barang dagangnya berupa kurma dan lain-lain, setidaknya bisa meraup pecahan dinar untuk istrinya (Syh. Aminah) yang sedang mengandung.

 

         Merasa cukup atas hasil yang didapatkan,  Sy. Abdullah beserta kafilahnya pun memutuskan untuk kembali ke Makkah dengan membawa beberapa pecahan dinar.

 

          Sesampainya mereka di kota Madinah, Sy. Abdullah mengeluh atas sakit yang dideritanya. Ia pun memutuskan tuk singgah ke rumah kerabat dari ayahnya di Madinah guna beristirahat serta  menjalani perawatan atas penyakitnya.

 

           Sebulan bermukim di Madinah, ajal pun menjemputnya dalam usia yang dikatakan masih muda: 25 tahun, serta dimakamkan di perkampungan Adiy bin Najjar yang ada di sana.

 

            Kemudian, muncul dalam benak seseorang, “Kenapa sang Rasul mulia terlahir dalam keadaan yatim? Adakah rahasia ilahi atas ketetapannya?”

 

        Setiap ketetapan ilahi pastilah tersimpan di dalamnya hikmah yang diinginkan-Nya. Adapun hikmah dari terlahirnya sang Rasul mulia dalam keadaan yatim, pakar sejarah serta ulama tarikh menyebutkan:

 

Hikmah yang pertama: “Buah karunia serta nikmat Ilahi atas kekasih-Nya.”

        

            Membuktikan statement ini, firman Allah Swt. ketika mengingatkan sang kekasih atas kenikmatan yang telah diberikan kepadanya:

 

((ألم يجدك يتيماً فآوى))

 

“Bukankah Ia (Allah) yang telah menemuimu dalam keadaan yatim lantas merawatmu (Rasulullah).” (Ad-Dhuha: 6).

 

“Akankah disebut karunia, seorang yang terlahir tanpa belaian kasih seorang ayah?” dalam benakku.

 

Al-Imam Ali bin Muhammad al-Baghdadi al-Khozin menjawab dugaanku tersebut dalam tafsirnya,

“Kenikmatan tersebut dikategorikan sebagai sebuah karunia ilahi kepada sang kekasih (meskipun terlihat sebuah petaka dalam pandangan makhluk). Allah Swt. hendak menguatkan hati sang kekasih serta ingin selalu mencurahkan perhatian dan kasih-Nya terhadap Rasulullah. Seakan sang Rabb berkata, ‘Jangan kau sesali atas takdirku (kau terlahir dalam keadaan yatim), bukankah Aku sendiri yang telah merawatmu? Aku sendiri yang menjagamu di kala kau kecil dan yatim? Janganlah kaukira Aku (Rabb) melupakan serta menelantarkanmu ketika kautumbuh besar.’ Maka terlihatlah perbedaan karunia Ilahi terhadap kekasih-Nya dibanding karunia-Nya terhadap selainnya.” (lihat: Tafsir Al-Khozin 4:439, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiyah).

 

Hikmah yang kedua: “Allah tak ingin kasih serta perhatian-Nya kepada sang kekasih terbagi dengan makhluk-Nya.”

 

            Menguatkan pernyataan di atas, ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Sy. Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Ketika ayah Rasulullah wafat, para malaikat bertanya, ‘Wahai Rabb, kau biarkan nabimu serta kekasihmu terlahir dalam keadaan yatim?’ Allah Swt. menjawab, ‘Aku sendiri yang akan menjaga, menolong, memperhatikan serta merawatnya.” (dinukil dari kitab: as-Sirah an-Nabawiyah oleh Sayid Ahmad Zainiy Dahlan, 1:44, cet: Muassasah Al-Kutub ats-Tsaqafiyah).

 

Serta, hikmah inilah yang dimaksudkan syair dalam syiirnya:

 

أخذ اله أبا الرسول ولم يـــــزل           #       برســـوله الفـــــــرد اليتيم رحيــــــماً

نفســـــي الفداء لمفرد في يتــــمه #       والدر أحسن ما يكون يتيــــمــــاً

 

“Tuhan telah mencabut nyawa ayah sang Rasul, hingga Dia sendiri mengasihi sang Rasul yang yatim.”

“Demi jiwa yang bersemayam di raga bagi sang Rasul yang terlahir yatim (sendiri), bukankah sebaik-baik berlian ialah berlian yang tunggal (tanpa selainnya) ?”

 

            Al-Imam Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya atas sepotong ayat dalam surat ad-Dhuha, berkata, “Dialah (Allah Swt.) yang telah memperhatikan dan merawatmu, wahai sang Rasul, dalam bimbingan Ilahi yang sempurna. Sebuah bimbingan yang tak menjadikanmu terlantar seperti kebanyakan anak yatim umumnya. Sebuah bimbingan Ilahi yang lebih sempurna dari bimbingan kedua orang tua.” (lihat: Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, 12:403, cet: Dar Sihnun Tunisia).

 

Pendapat Imam Ibnu ‘Asyur sungguh  selaras dengan hadits Nabi Muhammad saw. yang bersabda:

 

((أدبني ربي فأحسن تأديبي))

“Tuhanku sendiri yang telah mendidikku dengan sebaik-baik didikan.”

 

Hikmah yang ketiga: “Agar tak terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk.”


            Sang Ilahi tak ingin kekasihnya merasa harus berbalas budi kepada seorang makhluk. Tak ingin membebaninya atas hak-hak yang harus ia penuhi kepada sesama makhluk (semisal hak seorang anak terhadap ayahnya).

 

            Al-Imam Ja’far bin Muhammad as-Shodiq -radhiyallahu ‘anhu- pernah ditanya, “Mengapa Nabi terlahir yatim? Adakah hikmah di balik semuanya?” Ia pun menjawab, “Agar sang Rasul tidak terikat hak serta kewajiban kepada sesama makhluk.”  Maksudnya: Hak serta kewajiban seorang anak setelah balighnya, karena ibunya wafat sebelum ia baligh. (lihat: as-Sirah an-Nabawiyah oleh Sayid Ahmad Zainiy Dahlan, 1:44, cet: Muassasah al-Kutub ats-Tsaqafiyah).

 

Hikmah yang keempat: “Sang Ilahi ingin membuktikan bahwa kemuliaan Islam yang dicapai oleh kekasihnya murni dari usaha Rasulullah sendiri, bukan karena nasab, harta maupun takhta.”


            Amanah ilahi berupa syariat Islam yang diembannya akan tersebar ke seantero jagat raya karena murni sebuah usaha, ijtihad Rasulullah saw. sendiri yang dibarengi keridhoan Ilahi, tanpa ada embel-embel kemulian nasab, kekayaan, maupun takhta.

           

            Syekh asy-Syahid Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi (tokoh ulama Suriah) berkata, “Janganlah dikira terlahirnya sang Rasul dalam keadaan yatim adalah sebuah aib ataupun petaka. Akan tetapi, di balik itu semua ada sebuah hikmah yang bisa dipetik. Hikmah terpenting yang bisa dipetik ialah membungkam dugaan orang kafir yang mengatakan bahwa: ‘Tersebarnya dakwah Islam ke penjuru jagat hanyalah karena bimbingan, petunjuk serta kucuran dana dari ayah ataupun keluarganya yang tergolong sebagai pemuka Quraisy, bukan dari usahanya sendiri.’ Hikmah yang Allah kehendaki agar dakwah Islam murni dari nilai-nilai kesukuan, politik maupun indikasi bantuan dari makhluk, hingga sang Rasul dapat fokus mengemban amanah Ilahi (nubuwwah), serta terhindar dari pengaruh politik, harta, serta kedudukan yang diperoleh oleh leluhurnya.” (lihat: Fiqh as-Sirah, hal:45-46, cet: Dar  al-Fikr al-Muashir).

 

Kesimpulan: “Apa pun momen, perbuatan, ketetapan yang muncul dari diri Rasulullah saw. tidaklah melainkan sebuah kebaikan dan kesempurnaan. Tidaklah mungkin muncul dari diri sang Rasul sebuah aib, petaka ataupun keburukan.

 

Jika itu semua terjadi, maka tidaklah mungkin sang pemilik semesta alam menyuruh seluruh hamba-Nya tuk selalu meneladani serta meniru seluruh akhlaknya. Rasulullah adalah seorang Rasul yang diberi sifat ‘ma'shum’ (terhindar dari segala kekurangan serta dosa) sama halnya dengan rasul-rasul lainnya.

 

Semoga Allah Swt. menyematkan kepada kita sifat husnudzon (positive thingking) terhadap sesama makhluk-Nya, terlebih-lebih  kekasih-Nya, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A'lam bisshowab.


Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search