Sabtu, 19 Maret 2022

Faktor Minimnya Pendapat 'Alawiyin' Dalam Literatur Fiqh

 

Nafashadhramaut.id | 'Alawiyah' merupakan nama marga yang pastinya tak asing dalam benak seseorang.  Keautentikan garis keturunan yang tersambung hingga Rasulullah saw. menjadikan metode (manhaj), serta tuntunan mereka masih menjadi panutan bagi seseorang yang haus akan kemurnian dari amalan para leluhur (salafussolih).

 

'Alawiyah' sendiri adalah sebuah istilah dari anak-turun  al-Habib 'Alwi bin 'Ubaidillah bin Ahmad bin 'Isa al-Muhajir. Sebuah marga yang mendedikasikan umur, tenaga, harta, serta ilmu mereka demi perkembangan dakwah Islam ke seantero jagat.  Peran dan pengaruh dari mereka pun menghiasi segala sektor dakwah, baik berupa; Keilmuan, budaya, dan lain sebagainya.

 

Namun, jika kita telisik lebih dalam lagi sektor keilmuan, jarang kita temui pendapat atau argumen mereka yang terabadikan dalam kitab dan literatur keislaman, baik dalam bidang; ilmu Aqidah, Fiqh, Gramatika Arab, atau konsentrasi ilmu lain.

 

Contohnya dalam bidang ilmu Logika dan Teologi, pastinya pendapat atau teori dari; al-Imam Fakhr ad-Diin Muhammad bin 'Umar  ar-Razi (543-606 H) terabadikan dalam literatur keislaman khususnya dalam ilmu Teologi (Akidah), dibanding pendapat dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin 'Ali Ba'alawy (574-653 H). Padahal mereka berdua sama-sama hidup se-zaman dan telah mencapai derajat keilmuan yang tinggi.

 

Beralih ke bidang ilmu fiqh, seperti nama; al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hajar al-Haitami (909-973 H), al-Imam Syams ad-Diin ar-Ramly (919-1004 H), al-Imam Muhammad bin Ahmad al-Khotib asy-Syirbiniy (w: 977 H) dan ulama-ulama lain yang notabenenya merupakan jebolan Univ. al-Azhar-Mesir -pendapat mereka pun mendominasi literatur kitab-kitab Fiqh.

 

Lantas, di manakah pendapat para cendekiawan fiqh dari kalangan 'Alawiyin' di dalam literatur ilmu fiqh? Faktor apa yang membuat pendapat 'Alawiyin atau karangan mereka minim dijumpai di pasaran, layaknya kitab; Minhaj ath-Thalibin, Mughni al-Muhtaj, Tuhfat al-Muhtaj, dan lain-lain.

 

Faktor yang disinyalir menjadi penyebab minimnya hal tersebut adalah;

 

1. Tarbiyat ar-Rijal (Mencetak Kader Dai dan Ulama Islam).

 

Yah, Kesibukan mereka memakmurkan dakwah Islam dalam sektor 'Tarbiyah ar-Rijal (mencetak kader ulama) -yang menuntut mereka tidak menyelam dalam kubangan 'ghowamid al-masail (teori rumit), baik dalam studi ilmu Fiqh, Teologi, maupun lainnya -seperti halnya yang di lakukan para cendekiawan pada umumnya.

 

al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi (w: 1144 H) salah satu cendekiawan fiqh dari kalangan 'Alawiyin' menyatakan ;  "Adapun alasan minimnya karangan kitab-kitab dari 'Alawiyin' khususnya bidang Fiqh, dikarenakan lazimnya fuqaha mendatangkan dalam kitabnya permasalahan rumit dan bercabang, sedang hukum dari permasalahan tersebut umumnya berupa buah pikiran dari mereka, bahkan sebagian darinya merupakan argumen yang tak berdasar. Faktor inilah yang menyebabkan minimnya karangan  kitab-kitab Fiqh dari kalangan 'Alawiyin'. Dikarenakan Mereka lebih memilih tindakan preventif agar tidak terjebak dalam membahas permasalahan yang tak berdasar, serta memilih tuk beramal dengan hal yang bersifat fundamental."

 

Kemudian, beliau pun meneruskan,

 

وأنهم اهتموا بتخريج الرجال بدل الكتب التي أكثر تأثيرا من الكتب التي يحتملها السهو، والسقط، ورداءة الخط.

 

"Juga para 'Alawiyin' lebih mementingkan urusan mencetak kader ulama Islam yang berpengaruh  besar dibandingkan mengarang kitab. Sebab karangan kitab dimungkinkan terjadi; Ralat, lenyap, rusak, dan tulisan yang buruk (hingga tak mampu disalin)."

 

2. al-Iktifa bil-Ahamm wa Tazkiyat an-Nafs (Merasa cukup dengan hal yang esensial, dan sibuk membenahi jiwa).

 

Dari poin ini, bisa diketahui berapa banyak pakar, dan cendekiawan dari kalangan 'Alawiyin' lebih memilih jalur membaktikan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal ibadah. Serta tidak menyibukkan diri dengan diskusi dalam cabang-cabang ilmu yang rumit.

 

Dikisahkan bahwa; ketika al-faqih al-muqaddam as-sayyid Muhammad bin 'Ali Ba'alawi (muara para leluhur 'Alawiyin di seluruh dunia) telah mencapai tingkatan yang tertinggi dalam ilmu Logika dan Teologi, ia memilih untuk tidak menyelam lebih dalam lagi, serta malah banting setir ke ranah Tasawuf (penyucian batin). Sebagian pembimbing dan guru-guru nya pun menyayangkan keputusannya tersebut, dalam ungkap mereka,

 

(رجوناك ان تكون كابن فورك فأخذت طريق التصوف والفقر)

 

"Aku berharap kau (wahai Muhammad bin 'Ali) bisa menjadi layaknya 'Ibn Fawrak', namun kau lebih memilih jalur Tasawuf dan kesederhanaan."

 

*Kala itu 'Ibn Fawrak' merupakan pakar ilmu Logika dan Teologi ulung, hingga al-Imam fakhr ad-Diin ar-Razy kagum kepadanya, seraya memuat argumen-argumen darinya  dalam kitabnya; 'Asas at-Taqdis'.

 

Juga diriwayatkan bahwa al-Habib 'Abdullah bin 'Alawy al-Haddad (1044-1132 H) telah mencapai tingkatan tertinggi dalam ranah ilmu Fiqh (al-Mujtahid al-Mutlaq), namun ia tinggalkan hal tersebut guna menjaga adab terhadap al-Imam Asy-Syafi'i. Serta memilih  fokus untuk mengembangkan ranah ilmu Suluk (tata-krama), Tasawuf, serta dakwah.

 

3. Maqam al-Khumul (Menjauhkan diri dari ketenaran dan kemasyhuran).

 

Beberapa tokoh dari kalangan 'Alawiyin' lebih memilih untuk menutup diri dari lika-liku kehidupan dunia, baik dari; segi keilmuan, budaya dan lain sebagainya -serta memilih tuk menepi dan memantas diri dalam bermunajat kepada Allah ta'ala. Oleh sebab itu, jarang dari mereka sibuk dalam berdiskusi ihwal cabang ilmu fiqh yang rumit, ataupun perdebatan dalam ranah ilmu Logika.

 

Al-Habib Abdullah bin 'Alawy al-Haddad berpesan kepada murid-muridnya,

 

مقام سادتنا آل أبي علوي الضعف والمسكنة والخمول، غير ما هو لغيرهم من الأولياء من ضد هذه الصفات.

 

"Kalangan 'Alawiyin' lebih memilih ranah kesahajaan, sederhana, dan menutup diri. Adapun ranah-ranah yang lain merupakan bagian para pakar dan cendekiawan dari kalangan selain 'Alawiyin."

 

Meskipun peran, serta sumbangsih cendekiawan dari kalangan 'Alawiyin' tidak tersurat dalam literatur keislaman, namun cahaya keikhlasan dan kesungguhan dari mereka sungguhlah  tersirat dalam setiap hati murid-muridnya yang akan menjadi pelita perubahan bagi dakwah Islam hingga akhir zaman nanti. Wallahu 'A'lam bis-Showab.

 

 

Referensi;

1. Tastbit al-Fuad bi dzikri Majalis al-Haddad, karya; Syekh. Ahmad bin Abdul karim al-Hasyawi.

2. al-Ara al-Fiqhiyyah lil Imam- Ahmad bin Zain al-Habsyi, karya; Abdurrahman bin Toha al-Habsyi.

3. al-Qirtas fi Manaqib al-Attas, karya; al-Habib Ali bin Hasan al-Attas.

 


Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search