Hari-hari ini, sudah beredar kabar mengisukan hukum kesunnahan amaliah
puasa di bulan rajab bahkan sampai ada yang membid’ahkannya haram, padahal madzhab
ulama Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan sebagian minoritas madzhab
Hanabilah berfatwa bahwa berpuasa di 4 bulan mulia Asyhur al-Hurum (Muharrom, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan
termasuk bulan Rajab) itu sunnah.
Dengan landasan hadits dari Mujibah al-Bahiliyyah bahwa Ayahandanya pernah
mendatangi Rasulullah kemudian pergi, lalu mendatangi beliau kembali setelah
setahun kemudian dengan keadaan dan fisik yang berbeda, ia pun bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau mengenaliku?” beliau menjawab, “Siapa kamu?” ia
manyaut, “Aku al-Bahili yang tahun kemarin datang kepada engkau.” Beliau
bertanya, “Apa yang membuat kurus begini?” ia menjawab, “Setelah berpisah
dengan engkau, aku gak makan apapun kecuali di waktu malam” Rasulullah pun
membantah, “Kenapa kamu menyiksa diri sendiri? Berpuasalah di bulan Ramadhan, dan sehari di tiap bulan lain.” Ia menjawab,
“Aku masih kuat Rasulullah, tolong tambah” Rasulullah pun menambahkan untuk
puasa 2 hari di setiap bulannya, ia minta tambah lagi, beliau pun menambahkan 3
hari di setiap bulannya, ia minta tambah kembali, Rasulullah pun bersabda,
“Berpuasalah di bulan Ramadhan, 3 hari di bulan lain, dan puasalah di 4 bulan
mulai (Asyhur al-Hurum)”. (HR. Ibnu Majah)
Dan Rasulullah juga pernah ditanyakan tentang sebab mengapa beliau berpuasa
di bulan Sya’ban? Beliau pun menjawab:
(ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ
النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ)
“Itulah bulan (Sya’ban) terletak antar bulan Rajab dan Ramadhan yang mana
banyak orang telah melupakannya”. (HR. Nasa’i)
Sabda ini justru kuat menunjukkan bahwa bulan Rajab dan Ramadhan adalah
bulan mengisi ibadah dan ketaatan termasuk juga amaliah sunnah berpuasa yang
tidak seharusnya orang-orang lupakan apalagi mengisukan/mengharomkannya.
Al-Imam Nawawi r.a berargumentasi, “Puasa Rajab ini tiada dalil yang
melarangnya dan juga ga dalil kesunnahan secara khusus, namun pada dasarnya
berpuasa di bulan Rajab itu disunnahkan, dan di kitab Sunan Abu Dawud juga
diterangkan bahwa Rasulullah saw. mensunnahkan berpuasa di 4 bulan mulia
tersebut (Asyhur al-Hurum) yang mana salah satunya adalah bulan Rajab, Wallah
A’lam.”
Dan ada satu hadits fadilah sunnah puasa Rajab yang diriwayatkan oleh Abu
Qilabah ra. yang berbunyi:
"في الجنَّةِ قصرٌ لصُوَّامِ رجبَ"
“Disurga ada beberapa istana yang diberikain kepada orang yang banyak
berpuasa di bulan Rajab”
Meskipun hadits ini berkualitas Mauquf (Hadits yang disandarkan pada sahabat namun
tak sampai kepada Rasulullah saw.), akan tetapi Al-Imam Suyuthi r.a juga berpendapat,
“Ini riwayat sudah sangat shohih tentang puasa Rajab, karna Abu Qilabah (sang
periwayat) dari golongan tabi’in, yang mana sosok sepertinya tidak akan
meriwayatkan hadits tersebut kecuali berasal dari orang-orang terpercaya
sebelumnya yang telah mendengar langsung dari Nabi saw.”
Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami r.a juga berfatwa, “Pendapat yang sudah benar
adalah disunnahkan berpuasa di hari senin, kamis, bulan Rajab dan Asyhur
al-Hurum lainnya (Muharram, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah) dan siapapun yang
berpendapat hal itu tidak sunnah lalu melarang orang-orang berpuasa maka ia
orang yang bersalah dan berdosa.”
Syeikh Abu Bakar Syatho ad-Dimyathi dalam kitabnya I’anah at-Tholibin
menyampaikan, “Puasa Rajab ini termasuk bid’ah amaliyah hasanah dan bukan hanya
itu saja, Puasa Rajab juga amaliyah sunnah yang punya totalitas keutamaan”.
Namun sebagian mayoritas madzhab Hanabilah berfatwa, “Berpuasa Rajab full
satu bulan dalam satu tahun dan menyetarakan dengan puasa wajib bulan Ramadhan itu
dimakruhkan, karena ada unjuk menghidupkan syiar jahiliyyah dengan mengagungkan
bulan Rajab, dan kemakruhan itu bisa hilang dengan cara bolong di bulan Rajab
meskipun hanya satu hari, atau dengan cara puasa Rajab full lalu lanjutkan
dengan puasa di bulan lain pada tahun itu, contoh: berpuasa di 4 bulan Asyhur
al-Hurum, atau puasa Rajab dilanjutkan Sya’ban”.
Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami r.a juga membantah terhadap alasan mayoritas
Hanabilah di atas, dengan argument beliau dalam fatwa-nya, “Siapapun yang
mengagungkan bulan Rajab bukan seperti paduan arah orang-orang jahiliyyah, maka
ia tidak di cap sebagai pengikut tradisi jahiliyyah, sedangkan tidak semua
amaliah mereka itu dilarang kecuali bila Syariat sudah melarangnya atau ada
kaidah-kaidah yang menunjukkan untuk meninggalkannya, dan kebenaran tidak perlu
ditinggalkan karena Ahlul Bathil pernah melakukannya juga”.
Dan bagi yang ingin berdamai dari perbedaan pendapat antar ulama ini dan
juga ingin banyak berpuasa di bulan Rajab, maka di putuskan antar semua madzhab
kecuali wahabi bahwa berpuasa di sebagian hari-hari dari bulan Rajab itu
dihukumi sunnah bukan haram.
Intisari :
- Alangkah baik bagi seorang perindu dekat
dengan Allah untuk memperbanyak beramal kebaikan di bulan Rajab ini, terutama
memperbanyak istighfar, bertaubat, berpuasa sunnah Rajab.
- Berpuasa di 4 bulan mulia (Asyhur al-Hurum),
salah satunya adalah bulan Rajab itu disunnahkan menurut Jumhur Fuqoha’,
kecuali sebagian besar madzhab Hanabilah berpendapat, “Berpuasa Rajab full satu
bulan dalam satu tahun dan menyetarakan dengan puasa wajib bulan Ramadhan itu
dimakruhkan, dan kemakruhan itu bisa hilang dengan cara bolong di bulan Rajab
meskipun hanya satu hari, atau dengan cara puasa Rajab full lalu lanjutkan dengan
puasa di bulan lain pada tahun itu, contoh: berpuasa di 4 bulan Asyhur
al-Hurum, atau puasa rajab dilanjutkan sya’ban”.
Solusi selamat dari perbedaan pendapat antar
ulama ini, dan bila ingin banyak berpuasa di bulan Rajab, maka cukup berpuasalah
di sebagian hari-hari dari bulan Rajab. [Wallahu A’lam]
Referensi :
- Sunan Ibnu Majah, karya:
Imam Ibnu Majah Muhammad al-Qozwayni, Juz: 1, Hal: 554, Cet. Dar Ihya’ Kotob
al-Arabiyah.
- As-Sunan as as-Sughra, karya: Imam Nasa’i,
Juz: 4, Hal: 201, Cet. Maktab al-Matbu’at
al-Islamiyyah.
- I’anah ath-Thalibin, karya; Syekh Abu Bakar
Syatho ad-Dimyathi, Juz: 1, Hal: 313, Cet. Dar al-Fikr.
- Al-Mabsuth, karya: Imam As-Sarkhosi, Juz: 3, Hal : 82, Cet. Dar al-Makrifat, Beirut.
- Al-Fatawa al-Hindiyyah, karya: Lajnah Ulama bi
Ri’asah Nidzam al-Balkhi, Juz: 1, Hal: 201, Cet. Dar al-Fikr.
- Hasyiah ad-Dusuqi, Karya : Syekh Muhammad bin
Ahmad bin Arafah ad-Dusuqi, Juz: 1, Hal: 516, Cet. Dar al-Fikr.
- Al-Mumti’ fi Syarh al-Muqni’, karya : Syekh
Zainuddin at-Tanukhi al-Hambali, Juz: 2, Hal: 47, Cet. Maktabah al-Asadi, Mekkah.
- Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, karya: Imam
Ibnu Hajar al-Haitami, Juz: 2, Hal: 68, Cet. Al-Maktabah al-Islamiyyah
- Ad-Diybaj ala Shohih Muslim bin Hajjaj, karya:
Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Juz: 3, Hal: 238, Dar Ibn ‘Affan,
Mamlakah Arabiyyah Su’udiyyah.
Penulis: @el_ghubar.mubarok
Editor: @gilang_fazlur_rahman
Layouter:
@najibalwijufri
𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙏𝙚𝙧𝙪𝙨 & 𝙎𝙚𝙗𝙖𝙧𝙡𝙪𝙖𝙨𝙠𝙖𝙣.
"Sᴀᴍᴘᴀɪᴋᴀɴ
ᴅᴀʀɪᴋᴜ ᴍᴇSᴋɪᴘᴜɴ ʜᴀɴʏᴀ Sᴀᴛᴜ ᴀʏᴀᴛ ." HR. Bukhari
•
📲 𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙢𝙚𝙙𝙞𝙖 𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙢𝙞.
IG :
Instagram.com/nafas_hadhramaut
TW :
Twitter.com/nafashadhramaut
TG :
T.me/nafashadhramaut
FB :
fb.com/nafas.hadhramaut
YT :
https://youtube.com/@nafashadhramaut
TT :
Tiktok.com/nafashadhramaut
Web :
www.nafashadhramaut.id
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
WA :
http://bit.ly/Nafas-Hadhramaut-Channel
Email :
nafashadhramaut.id@gmail.com
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Posting Komentar