Robi’ah Ar-Ro’yi Pemuka Generasi Tabi’in Di Madinah
Oleh
: Imam Abdullah El-Rashied(*)
Nafashadhramaut.id | Saat ini kita sedang berada di tahun
51 H. Saat itu pasukan kaum Muslimin sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi
ke berbagai penjuru bumi, membawa Aqidah yang membangun peradaban manusia
dengan mengulurkan tangan yang mendekap penuh kasih, menyebar di segala penjuru
dengan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia lantas menjadikan
penghambaan tersebut secara totalitas hanya untuk Allah swt tanpa
menyekutukannya.
Saat itu seorang Sahabat Nabi yang agung “Ar-Robi’ Bin Ziyad
Al-Haritsi” Gubernur Khurasan dan Sang Penakluk Sajistan sedang bergerak
bersama prajuritnya di jalan Allah. Ia membawa serta budak kesayangannya yang
pemberani, “Farrukh”. Setelah Ar-Robi’ diberi kemenangan oleh Allah dengan
menaklukkan Sajistan dan negeri-negeri lainnya, ia berharap bisa menutup sisa
usianya dengan melintasi Sungai Saihun (Sungai besar setelah Samarkan di
penghujung Turkistan) lantas menegakkan bendera Tauhid di segenap puncak
negeri-negeri di balik sungai tersebut yang terkenal dengan julukan “Negeri di
seberang sungai”.
Ar-Robi’ Bin Ziyad telah mempersiapkan segala perbekalan dan
kebutuhan untuk memerangi Negeri di seberang sungai, menentukan tempat dan
waktunya untuk musuh Allah. Ketika perang sedang berkecamuk, Ar-Robi’ dan
prajuritnya berjuang dengan sangat gigih yang jasanya takkan pernah dilupakan
oleh sejarah dengan berbagai sanjungan dan pujian.
Farrukh menunjukkan puncak keberanian di medan laga dengan
berbagai jenis serangan yang membuat Ar-Robi’ berdecak kagum dibuatnya dan
sangat mengakui keistimewaannya. Peperanganpun akhirnya dimenangkan oleh pihak
Kaum Muslimin dengan kemenangan yang dahsyat, di mana mereka menggoncang
pendirian musuh, mencerai-berai pasukannya dan menghancurkannya. Kemudian
mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka memasuki Tanah Turki,
menghalangi mereka untuk memasuki Daratan China, dan menahan mereka untuk
melakukan ekspansi di Kerajaan Ash-Shughdi (salah satu negeri di Asia tengah).
Setelah Panglima yang Agung tersebut menyebrangi sungai dan
menjejakkan kakinya di sebrangnya, lantas ia dan pasukannya bergegas mengambil
air wudhu’, kemudian menghadap kiblat dan melakukan Sholat 2 raka’at sebagai
bentuk rasa syukur kepada Allah swt yang telah menganugerahkan kemenangan besar
ini. Kemudian Ar-Robi’ memberikan balasan yang setimpal atas perjuangan gigih
budaknya dengan memerdekakannya dan memberikan bagiannya dari harta rampasan
perang, kemudian ditambah lagi hadiah yang melimpah dari harta Ar-Robi’
sendiri.
Hanya saja setelah kemenangan besar yang ditulis dengan
tinta emas oleh sejarah tersebut tak bisa lama dinikmati oleh Ar-Robi’, di mana
ajal sangat terburu-buru menjemputnya 2 tahun setelah cita-cita terbesarnya
tercapai. Lantas ia menemui Tuhannya dengan penuh rihdo dan diridhoi.
Sedangkan pemuda tangguh nan pemberani yang bernama Farrukh
itu kembali ke Madinah Al-Munawwarah dengan membawa bagiannya yang melimpah
dari harta rampasan perang dan pemberian Sang Panglima. Di atas itu semua ia
juga membawa kemerdekaannya yang merupakan harta paling berharga yang ia
miliki, serta membawa kenangan-kenangan yang indah tentang keberaniannya di
medan perang.
***
Ketika Farrukh memasuki Kotanya Rasulullah saw, ia masih
sangat terlihat muda, dengan perawakan menarik dan terlihat kekar. Saat itu
usianya masih 30 tahun. Ia telah berazam untuk membeli rumah sebagai tempat
tinggalnya, dan mencari istri untuk tempat tenangnya. Lantas ia memberi salah
satu rumah di tengah-tengah Madinah. Memilih salah satu wanita yang cerdas,
mulia, dan baik agamanya yang usianya tak jauh darinya.
Farrukh sangat menikmati rumah yang Allah anugerahi
untuknya. Dia menemukan ketengan hidup dalam dampingan istrinya melebihi segala
hal yang ia harapkan selama ini. Hanya saja, rumah yang makmur dan penuh dengan
keistimewaan, istri yang sholihah dengan perangai yang baik tersebut tak bisa
mengalahkan rintihan hati Sang Penunggang kuda untuk kembali berkecamuk di
tengah medan jihad. Serta tak bisa mengalahkan kerinduannya akan suara pedang
yang beradu dan keinginan besarnya untuk terus menyambung Jihad di jalan Allah.
Tiap kali kabar tentang kemenangan Pasukan Muslimin beredar di Madinah,
kerinduannya untuk berjihad kian tak tertahankan. Dan tiap kali sampai kabar
itu kepadanya, kerinduannya untuk mati syahid kian menggebu-gebu.
Di suatu hari pada saat pelaksanaan Sholat Jum’at, Farrukh
mendengar Khotib Masjid Nabawi memberitakan kabar gembira atas
kemenangan-kemenangan Pasukan Kaum Muslimin di banyak pertempuran. Sang Khotib
juga turut menganjurkan dan mengajak orang-orang untuk terjun ke dalam Jihad di
jalan Allah. Ia membujuk mereka untuk merindukan syahid di jalan menegakkan
agama-Nya, dengan mengharapkan ridho-Nya.
Farrukh kembali ke rumahnya dengan hati yang mantap untuk
bergabung di bawah Panji-Panji Kaum Muslimin yang tersebar seperti bintang
gemintang. Lantas ia mengabarkan maksud hatinya kepada istrinya.
Istrinya
berkata : “Wahai Abu Abdurrahman, kepada siapa Kau tingalkan Aku dan janin yang
ada dalam kandunganku ini? Sedangkan Engkau adalah orang asing di Madinah dan
tak mempunyai keluarga satupun di sini.”
Farrukh
: “Aku menitipkanmu pada Allah dan Rasul-Nya. Ini Aku tinggalkan 30.000 Dinar
untukmu dari apa yang Aku dapatkan selama ini dari harta rampasan perang. Jaga
baik-baik harta ini dan investasikan. Gunakanlah sebagai nafkah untukmu dan
anakmu dengan baik hingga Aku kembali padamu dengan keadaan selamat dan sukses.
Atau Allah menganugerahiku mati Syahid sebagaimana yang Aku dambakan selama
ini.”
Lantas
Farrukh mengucapkan salam perpisahan kepada istrinya dan pergi menjemput
harapannya.
(30.000
Dinar setara dengan 72 Milyar dengan kurs 1 Dinar = Rp. 2.400.000,-).
***
Sang Istri yang teguh tersebut
akhirnya melahirkan janin yang ada di kandungannya setelah beberapa bulan
kepergian suaminya. Anaknya laki-laki, wajahnya berseri, parasnya manis, dan
sedap dipandang. Sang Ibu sangat bahagia dengan kelahirannya, dan nyaris saja
kebahagiannya itu membuatnya lupa akan perpisahan dengan ayah anak tersebut.
Kemudian Sang Ibu menamainya “Robi’ah”.
Anak lelaki tersebut mulai menampakkan tanda-tanda
keunggulan sejak masa kecilnya. Tanda-tanda kecerdasan nampak dalam setiap
gerak-gerik dan ucapannya. Lantas Sang Ibu menyerahkannya pada para Mu’allimin
(Guru), dan berpesan pada mereka agar mengajarinya dengan baik. Sang Ibu juga
mengundang para Pendidik dan meminta mereka untuk mendidiknya dengan sempurna.
Tak lama setelah itu Robi’ah telah mahir menulis dan
membaca. Kemudian ia menghafal Al-Qur’an, lantas ia membacanya dengan bacaan
yang segar sebagaimana diturunkan pada hati Muhammad saw. Ia kini mulai
memahami beberapa hadits Rasulullah saw yang mulai ia hafal, serta menghafal
Kalam Arab yang dirasa penting, dan mengetahui beberapa urusan agama yang
selayaknya ia ketahui.
Ibu Robi’ah memberi hadiah yang besar untuk para pengajar
dan pendidik anaknya. Tiap kali melihat Robi’ah bertambah ilmunya, ia menambah
pemberiannya pada mereka. Sang Ibu masih saja menunggu kedatangan ayahnya yang
telah lama pergi. Ia berharap bisa menjadikan Robi’ah sebagai penyejuk hatinya
dan ayahnya.
Hanya saja Farrukh tak kunjung kembali. Kabar tentang
dirinyapun simpang siur. Ada yang mengatakan ia menjadi tawanan musuh. Ada yang
mengatakan ia masih terus gencar berjihad tanpa lelah. Ada pula yang mengatakan
ia mati syahid sebagaimana ia harapkan selama ini. Kabar terakhir inilah yang
paling diyakini Ibu Robi’ah karena kabarnya yang terputus selama ini. Ibu
Robi’ah akhirnya terdekap dalam kesehidan yang menyayat hatinya. Lantas ia
meminta balasan pahala atas kesabarannya tersebut kepada Allah swt.
***
Saat itu Robi’ah sudah memasuki usia remaja dan nyaris
memasuki usia pemuda. Orang-orang yang menasehati ibunya berkata : “Ini Dia
Robi’ah, sudah menyempurnakan baca tulis yang semestinya dikuasai oleh pemuda
susianya. Bahkan ia menggungguli teman-temannya dengan menghafal Al-Qur’an dan
meriwayatkan Hadits. Andai kata Kau memilihkan pekerjaan untuknya, niscaya tak
lama ia sudah bisa mengusainya dengan baik hingga ia bisa memberi nafkah
untukmu dan untuk dirinya sendiri sebagaimana kebaikan yang Kau harapkan.”
Lantas Ibu Robi’ah berkata : “Aku meminta kepada Allah agar memilihkan apa yang
terbaik untuk dunia dan akhiratnya. Sungguh Robi’ah telah memilih ilmu untuk
kehidupannya. Dan berazam kuat untuk hidup sebagai orang yang belajar dan
mengajar sepanjang hidupnya.
***
Akhirnya Robi’ah menempuh jalan yang sudah ia gariskan
sendiri tanpa berleha-leha dan terlena.
Ia masuk ke dalam Halaqah-Halaqah Ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi seperti
orang yang haus mendatangi mata air yang tawar. Ia melazimi sisa-sisa dari
Sahabat Nabi saw yang masih hidup, di antaranya adalah Anas Bin Malik, Pembantu
Rasulullah saw. Ia mengambil ilmu dari generasi awal Tabi’in seperti Sa’id Bin
Al-Musayyab, Makhul Asy-Syami dan Salamah Bin Dinar.
Ia terus menyambung kelelahan malam dengan kelelahan
siangnya dalam menuntut ilmu hingga upaya kerasnya tersebut benar-benar
membuatnya sangat penat. Tiap kali ada seseorang yang mengajaknya berbicara dan
minta ditemani, ia berkata : “Kami mendengar Syeikh-Syeikh kami berkata :
“Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya hingga Kau memberikan
dirimu sepenuhnya pada ilmu.”
Tak lama setelah itu nama Robi’ah mulai santer terdengar,
bintangnya mulai bersinar dan saudara-saudaranya (dalam ilmu) kian banyak.
Murid-muridnya sangat mencintainya dan kaumnya menganggapnya sebagai tokoh yang
berpengaruh. Kehidupan Robi’ah sebagai ‘Alim Madinah berjalan dengan tenang dan
nyaman. Sebagian harinya ia habiskan di rumah untuk keluarga dan
saudara-saudara seimannya. Sebagiannya lagi ia habiskan di Masjidnya Rasulullah
saw untuk mengajar di Majelis Ilmu. Seperti itulah alur kehidupannya hingga
mencapai batas yang tak pernah ia bayangkan selama ini.
***
Pada suatu malam di musim panas yang diterangi cahaya bulan.
Salah seorang penunggang kuda dalam usianya yang memasuki dekade ke 6 tiba di
Madinah. Ia memasuki gang-gang Madinah dengan menunggagi kuda perkasanya menuju
ke rumahnya. Saat itu ia belum tahu, apakah rumahnya masih berdiri kokoh
seperti dahulu atau masa kepergiannya yang lama telah merubahnya? Sebab sudah
30 tahun lamanya ia meninggalkan Madinah.
Lantas ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri : “Apa kabar
istrinya yang ia tinggalkan di rumahnya, dan apa yang saja yang telah ia
lakukan?” Ia juga bertanya-tanya tentang janin yang dikandung istrinya selama
ini : “Apakah sang istri melahirkan anak laki-laki atau anak perempuan? Apakah
anak tersebut hidup atau mati? Kalaupun anak itu hidup, lantas bagaimana kabarnya?
Seperti apa dia sekarang?” Ia juga bertanya-tanya tetang harta melimpah yang ia
titipkan pada istrinya yang ia kumpulkan dari rampasan perang saat berjihad.
Harta yang ia titipkan pada istrinya saat ia pergi memenuhi panggilan jihad di
jalan Allah bersama pasukan Kaum Muslimin yang berangkat menaklukkan Bukhara,
Samarkan dan sekitarnya.
Gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih saja dipenuhi
dengan hilir-mudik para pendatang dan mereka yang bepergian. Orang-orang baru
saja selesai dari Sholat Isya’. Hanya saja tak ada satupun dari mereka yang
mengenal Farrukh dan tak ada satupun yang mempedulikannya, tak juga melihat
kudanya yang begitu elok dan kokoh, tak pula memperhatikan pedangnya yang
menggantung di pundaknya.
Hal ini tak lain karena para penduduk kota-kota besar Islam
sudah tak asing dengan pemandangan Mujahidin yang pulang pergi perang di jalan
Allah. Inilah yang membuat sedih Penunggang Kuda yang asing tersebut yang baru
saja kembali ke Madinah.
Penunggang Kuda itu masih berputar-putar dalam pikirannya,
seraya berlalu mencari jalan di gang-gang Madinah yang mulai mengalami banyak perubahan,
tanpa sadar ia tiba-tiba berada di depan rumahnya. Ia melihat pintu rumah
terbuka, kebahagiannya yang membuncah membuatnya lupa untuk meminta izin kepada
tuan rumah, hingga akhirnya ia melewati pintu dan masuk ke halaman rumah
tersebut.
Mendengar suara gesekan pintu terbuka, tuan rumah bangkit
melihat dari lantai 2 rumahnya. Lantas ia melihat di bawah sinar bulan seorang
lelaki asing dengan pedang dan tombak yang menempel di badannya, yang tiba-tiba
masuk ke rumahnya. Sedangkan istrinya berdiri tak begitu jauh dari pandangan
lelali asing tersebut.
Dalam keadaan marah Sang Tuan Rumah bergegas turun tanpa
mengenakan sandal seraya berkata : “Apakah Kau menutup diri dengan datangnya
malam wahai musuh Allah, lantas Kau menerobos rumahku dan hendak menyerang
keluargaku? Ia bergegas menyerang lelaki asing tersebut sebagaimana singa
menyerang ketika merasa sarangnya diganggu. Ia tak memberi lelaki asing
tersebut kesempatan untuk berbicara.
Keduanya kini saling bertikai satu sama lain, suara
keributan mereka meninggi hingga membuat para tetangga mendatangi rumah itu
dari segala penjuru. Mereka melingkari lelaki asing tersebut seperti borgol
yang melingkar di leher. Mereka membantu tetangganya itu.
Sang Tuan Rumah menangkap dan memegang erat leher lelaki asing
tersebut seraya berkata : “Demi Allah, Aku takkan melepaskanmu wahai musuh
Allah kecuali kepada Hakim.”
Lelaki asing tersebut berkata : “Aku bukanlah musuh Allah,
dan Aku tak melakukan dosa apapun di sini. Ini adalah rumahku, ketika Aku
menemukan pintunya terbuka, lantas Aku memasukinya.” Kemudian ia menoleh kepada
orang-orang di sekitarnya seraya berkata : “Wahai Kaum, dengarkan Aku. Ini
adalah rumahku, Aku membelinya dengan uangku. Wahai Kaum, Aku adalah Farrukh.
Apakah tak ada dari para tetangga di sini yang mengenal Farrukh yang telah
pergi selama 30 tahun berjihad di jalan Allah?”
Saat itu Ibu Si Tuan Rumah sedang tertidur pulas, lantas
terbangun karena mendengar keributan di luar. Lantas ia bergegas menuju jendela
kamarnya di lantai 2 dan melihat suaminya yang telah lama menghilang. Nyaris
saja keheranan membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya ia berkata :
“Wahai para tetangga tinggalkanlah dia, lepaskan dia wahai Robi’ah, lepaskan
dia wahai anakku, dia adalah ayahmu. Silahkan pulang wahai kaum, semoga Allah
memberkati kalian. Waspadalah wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya orang Kau
hadapi adalah anakmu dan buah hatimu.”
Tak lama setelah kata-kata Ibu Robi’ah menyentuh segenap
telinga di sekitarnya, Farrukh akhirnya bergegas memeluk Robi’ah. Kemudian
Robi’ah mencium tangan dan kepala ayahnya. Lantas orang-orang di sekitarnya
pulang ke rumah masing-masing. Ibu Robi’ah turun dan memberi salam kepada
suaminya yang selama ini tak pernah ia sangka akan bertemu dengannya lagi di
muka bumi, setelah sepertiga abad lamanya kabarnya terputus.
Farrukh duduk ke samping istrinya, lantas ia menceritakan
hal ihwalnya kepadanya serta menyingkap sebab kabarnya yang lama terputus.
Hanya saja sang istri tak terlalu mempedulikan ucapannya, meskipun ia sangat
gembira akan pertemuannya ini dan akhirnya keluarganya bisa berkumpul kembali
namun ia masih merasa takut akan kemarahan suaminya karena harta yang ia
titipkan padanya telah habis tak tersisa.
Ibu Robi’ah berkata
pada dirinya sendiri : “Apa yang akan Aku katakan kalau suamiku bertanya akan
harta melimpah yang ia titipkan padaku dan berpesan agar menjaganya baik-baik?
Apa yang akan terjadi mana kala Aku kabarkan bahwa apa yang ia titipkan tak
tersisa sedikitpun? Apakah dia akan menerima ucapanku jika Aku berkata : “Sesungguhnya
Aku menginfakkan semua yang Kau tinggalkan padaku untuk pendidikan anaknya?
Lantas, apakah kebutuhan seorang anak mencapai 30.000 Dinar? Apakah dia akan
mempercayai bahwa anaknya itu lebih dermawan dari awan, dan tak tersisa
meskipun hanya satu dinar ataupun satu dirham. Dan segenap penduduk Madinah
tahu bahwa anaknya itu menginfakkan hartanya kepada ribuan saudara seimannya.”
Dalam kegalauan yang menimpa Ibu Robi’ah, suaminya menoleh
padanya seraya berkata : “Wahai Ibu Robi’ah, Aku telah membawa 4000 Dinar
untukmu. Tolong keluarkan harta yang Aku titipkan padamu agar kita
menjadikannya satu biar nanti kita beli kebun dan rumah, kemudian hidup dengan
penghasilan dari kebun tersebut sepanjang hidup kita.” Ibu Robi’ah berpura-pura
sibuk dan tak menjawab pertanyaannya. Lantas Farrukh mengulang pertanyaannya :
“Ayo mana harta itu biar Aku kumpulkan jadi satu?” Ibu Robi’ah menjawab : “Aku
telah meletakkannya pada tempat yang semestinya. Beberapa hari ke depan Aku
akan menunjukkannya padamu, Insya Allah.”
Tiba-tiba suara Adzan Shubuh memotong suara mereka berdua.
Lantas Farrukh meraih bejana air dan mengambil wudhu’, kemudian bergegas menuju
pintu seraya berkata : “Robi’ah ke mana?” Ia menjawab : “Dia telah mendahuluimu
ke masjid sejak adzan pertama, dan Aku rasa Engkau akan ketinggalan jama’ah.”
***
Farrukh akhirnya tiba di masjid, ia mendapati imam baru saja
selesai dari sholatnya, lantas ia menunaikan sholat wajib. Setelah itu ia pergi
ke pusara Nabi Muhammad saw dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian ia pergi
menuju Raudhah, rasanya sudah lama sekali ia merindukan sholat di Raudhah. Ia
pun mengambil posisi dan melakukan sholat sunnah secukupnya, lantas berdo’a
dengan apa yang diilhamkan kepadanya.
Ketika ia hendak meninggalkan masjid, ia melihat ruangan
utamanya telah disekat di beberapa bagiannya dengan majelis ilmu yang tiada
duanya yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Ia melihat orang-orang
melingkari Syeikh Majelis begitu padatnya hingga tak ada sejengkalpun lantai
yang kosong.
Ia mengarahkan pandangannya pada orang-orang tersebut. Ia
melihat banyak Syeikh-Syeikh sepuh yang mengenakan sorban di antara mereka. Di
antara mereka juga banyak orang-orang yang khusyu’ dan menunjukkan bahwa mereka
mempunyai pangkat. Banyak pula ditemui para pemuda yang duduk bersimpuh di atas
lututnya sambil memegang pena dan menuliskan setiap apa yang dikatan oleh
Syeikh Majelis. Mereka menjaga buku-buku mereka seperti menjaga permata yang
berharga.
Mereka mengarahkan pandangannya di tempat Syeikh duduk.
Mendengarkan setiap kata yang disampaikan oleh Syeikh, seolah-olah ada burung
yang hinggap di kepala mereka. Para Muballigh (orang yang menyampaikan ucapan
Syeikh, posisinya seperti speaker, menyampaikan pada jama’ah yang tak
terjangkau suara Syeikh) menyampaikan setiap kata yang diucapkan Syeikh, hingga
tak ada satupun orang yang ketinggalan meskipun tempatnya jauh dari Syeikh.
Farrukh berusaha melihat wajah Syeikh namun tak begitu
nampak di matanya, lantaran posisi Syeikh yang sangat jauh darinya. Hanya saja
penjelasan Syeikh membuatnya takjub, kedalaman ilmunya dan memori ingatannya
yang kuat. Ia juga dibuat takjub oleh khusyu’nya orang-orang yang mengelilingi
Syeikh. Tak lama setelah itu Syeikh
menutup majelisnya lantas berdiri dan pergi. Orang-orangpun bergegas ke arahnya
untuk mengantarkannya keluar masjid.
Di saat inilah Farrukh menoleh kepada seseorang yang duduk
di dekatnya seraya berkata : “Demi Tuhanmu, katakan kepadaku siapa gerangan
Syeikh tersebut?”
Lelaki
itu berkata dengan penuh rasa heran : “Bukankah kamu orang Madinah?”
Farrukh
: “Ia, benar.”
Lelaki
: “Lantas, adakah di Madinah seseorang yang tak mengenal Syeikh?”
Farrukh
: “Maafkan saya jika saya tak mengenalnya. Sudah 30 tahun lamanya Aku
meninggalkan Madinah dan tidak kembali kecuali kemaren sore.”
Lelaki
: “Gak apa-apa, sini duduk di samping saya biar saya cerikatan padamu tentang
Syeikh. Sesungguhnya Syeikh yang Kau dengarkan tadi adalah salah satu dari
pemuka Tabi’in dan salah satu dari tokoh kaum muslimin. Dia adalah Pakar Hadits,
Pakar Fiqih dan Imamnya Madinah meski usianya masih terbilang muda.”
Farrukh
: “Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.”
Lelaki
: “Dan Majelisnya itu –sebagaimana Kau saksikan- turut dihadiri Malik Bin Anas
(Pendiri Madzhab Maliki), Abu Hanifah An-Nu’man (Pendidi Madzhab Hanafi), Yahya
Bin Sa’id Al-Anshori, Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman Bin ‘Amr Al-Auza’i,
Al-Laits Bin Sa’ad dan lainnya.
Farrukh
: “Hanya saja Kau…”
Lelaki
tersebut belum memberi Farrukh kesempatan untuk menyempurnakan ucapannya lantas
memotongnya dan berkata : “Selain itu semua, Syeikh juga mempunyai sifat-sifat
yang terpuji, rendah hati dan sangat dermawan. Tidaklah penduduk Madinah
mengenal seseorang yang kedermawanannya melebihi Syeikh kepada teman dan anak
temannya, tak pula menemukan seseorang yang lebih zuhud darinya pada dunia, dan
lebih mengharapkan apa yang Allah janjikan padanya.”
Farrukh
: “Tapi Kau belum menyebutkan namanya padaku.”
Lelaki
: “Dia adalah Robi’ah Ar-Ro’yi.”
Farrukh
: “Robi’ah Ar-Ro’yi?”
Lelaki
: “Benar, namanya adalah Robi’ah. Hanya saja Ulama’ Madinah dan para Syeikhnya
memanggilnya Robi’ah Ar-Ro’yi, hal ini karena ketika mereka tak menemukan dalil
dalam suatu permasalahan di Kitabnya Allah dan Haditsnya Rasulullah saw, mereka
pergi menemui Syeikh Robi’ah , sehingga Syeikh berijtihad dalam masalah
tersebut. Ia mengkiyaskan masalah yang tak ada dalilnya dengan masalah yang ada
dalilnya. Kemudian memberikan hukum pada mereka tentang masalah tersebut dengan
pendapat yang bisa diterima oleh hati mereka.” (Arti kata Ar-Ro’yi adalah
Pendapat).
Farrukh
berkata dengan nada sedih: “Tapi Kau tak menisbatkannya padaku…”
Lelaki
: “Dia adalah Robi’ah Bin Farrukh yang mempunyai panggilan Abu Abdurrahman. Dia
dilahirkan ketika ayahnya meninggalkan Madinah dalam jihad di jalan Allah,
lantas ibunya yang mengurusi pendidikannya. Dan saat sebelum Sholat Aku
mendengar orang-orang berkata bahwa ayahnya telah tiba kemaren malam.”
Di saat itulah air mata deras
mengalir di wajah Farrukh tanpa diketahui sebabnya oleh lelaki tersebut.
Kemudian Farrukh mengambil langkah menuju ke rumahnya. Ketika istrinya melihat
air mata memenuhi mata Farrukh, ia berkata : “Apa yang terjadi padamu wahai
Ayah Robi’ah?”
Farrukh
: “Tidak terjadi apa-apa padaku melainkan kebaikan. Sungguh Aku telah melihat
Robi’ah anak kita berada pada derajat keilmuan dan kemuliaan yang belum pernah
Aku lihat dimiliki seseorang sebelumnya.”
Di
saat seperti inilah Ibu Robi’ah mengambil kesempatan untuk berkata : “Mana yang
lebih Kau cintai, 30.000 Dinar atau kesuksesan anakmu ini?”
Farrukh
: “Demi Allah, kesuksesan anakku ini lebih Aku cintai, dan Aku lebih
mengutamakannya dari harta dunia yang Aku miliki semuanya.”
Ibu
Robi’ah : “Sungguh Aku telah menginfakkan semua yang Kau tinggalkan untuk
kesuksesannya. Lantas apakah Kau rela dengan apa yang Aku perbuat?”
Farrukh
: “Ia, Aku rela. Dan terima kasih atas segala hal yang Kau perbuat, semoga Kau
dibalas kebaikan.” [Selesai]
***
Pujian
Para Ulama’ kepada Imam Robi’ah Ar-Ro’yi :
1.
Ibn Al-Majisyun : “Aku tak melihat seorangpun yang lebih hafal terhadap Sunnah
melebih Robi’ah.”
2.
Mu’adz Bin Muadz berkata : Aku mendengar Siwar Bin Abdullah berkata : “Aku tak
menemukan orang yang lebih Alim dari Robi’ah Ar-Ro’yi.” Aku berkata : “Bahkan
Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin?” Siwar : “Bahkan Hasan dan Ibnu Sirin.”
3.
Ibn Wahhab : “Robi’ah adalah orang paling dermawan, ia menginfakkan 40.000
Dinar untuk saudara-saudara seimannya.”
4.
Yahya Bin Sa’id : “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dari
Robi’ah.”
***
Pesan
:
1.
Pilihlah bibit unggul sebagai calon anak kita. Yaitu yang baik agamanya, baik
perangainya dan syukur-syukur pandai orangnya dan dari keluarga baik-baik.
2.
Pilihlah sekolah yang bagus untuk anak kita, dan jangan ragu masukkan anak ke
Lembaga Pendidikan Islam. Syukur-syukur bisa menyekolahkannya hingga jenjang
Doktoral. Selama mampu menyekolahkan, sekolahkan setinggi mungkin, karena orang
yang berilmu derajatnya selalu melebihi orang biasa.
Referensi
:
-
Shuwar Min Hayat At-Tabi’in hal. 133-154, Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya.
-
Tadzkhiroh Al-Huffadz (1/118)
-
Tahdzib Al-Kamal (9/128)
-
Hilyah Al-Auliya’ (3/259)
-
Shofwah Ash-Shofwah (2/83)
-
Dzail Adz-Dzail hal. 101
-
Tarikh Baghdad (8/420)
-
Mizan Al-I’tidal (1/136)
-
At-Taj (10/141)
-
Wafayat Al-A’yan (2/288)
-
Tarikh Ath-Thobari.
(*)
Penulis
adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di
Hadhramaut University.
Posting Komentar