Rabu, 07 Oktober 2020

Robi’ah Ar-Ro’yi Pemuka Generasi Tabi’in Di Madinah

Robi’ah Ar-Ro’yi Pemuka Generasi Tabi’in Di MadinahRobi’ah Ar-Ro’yi  Pemuka Generasi Tabi’in Di Madinah 
Oleh : Imam Abdullah El-Rashied(*)


Nafashadhramaut.id | Saat ini kita sedang berada di tahun 51 H. Saat itu pasukan kaum Muslimin sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke berbagai penjuru bumi, membawa Aqidah yang membangun peradaban manusia dengan mengulurkan tangan yang mendekap penuh kasih, menyebar di segala penjuru dengan memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia lantas menjadikan penghambaan tersebut secara totalitas hanya untuk Allah swt tanpa menyekutukannya.

Saat itu seorang Sahabat Nabi yang agung “Ar-Robi’ Bin Ziyad Al-Haritsi” Gubernur Khurasan dan Sang Penakluk Sajistan sedang bergerak bersama prajuritnya di jalan Allah. Ia membawa serta budak kesayangannya yang pemberani, “Farrukh”. Setelah Ar-Robi’ diberi kemenangan oleh Allah dengan menaklukkan Sajistan dan negeri-negeri lainnya, ia berharap bisa menutup sisa usianya dengan melintasi Sungai Saihun (Sungai besar setelah Samarkan di penghujung Turkistan) lantas menegakkan bendera Tauhid di segenap puncak negeri-negeri di balik sungai tersebut yang terkenal dengan julukan “Negeri di seberang sungai”.

Ar-Robi’ Bin Ziyad  telah mempersiapkan segala perbekalan dan kebutuhan untuk memerangi Negeri di seberang sungai, menentukan tempat dan waktunya untuk musuh Allah. Ketika perang sedang berkecamuk, Ar-Robi’ dan prajuritnya berjuang dengan sangat gigih yang jasanya takkan pernah dilupakan oleh sejarah dengan berbagai sanjungan dan pujian.

Farrukh menunjukkan puncak keberanian di medan laga dengan berbagai jenis serangan yang membuat Ar-Robi’ berdecak kagum dibuatnya dan sangat mengakui keistimewaannya. Peperanganpun akhirnya dimenangkan oleh pihak Kaum Muslimin dengan kemenangan yang dahsyat, di mana mereka menggoncang pendirian musuh, mencerai-berai pasukannya dan menghancurkannya. Kemudian mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka memasuki Tanah Turki, menghalangi mereka untuk memasuki Daratan China, dan menahan mereka untuk melakukan ekspansi di Kerajaan Ash-Shughdi (salah satu negeri di Asia tengah).

Setelah Panglima yang Agung tersebut menyebrangi sungai dan menjejakkan kakinya di sebrangnya, lantas ia dan pasukannya bergegas mengambil air wudhu’, kemudian menghadap kiblat dan melakukan Sholat 2 raka’at sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt yang telah menganugerahkan kemenangan besar ini. Kemudian Ar-Robi’ memberikan balasan yang setimpal atas perjuangan gigih budaknya dengan memerdekakannya dan memberikan bagiannya dari harta rampasan perang, kemudian ditambah lagi hadiah yang melimpah dari harta Ar-Robi’ sendiri.

Hanya saja setelah kemenangan besar yang ditulis dengan tinta emas oleh sejarah tersebut tak bisa lama dinikmati oleh Ar-Robi’, di mana ajal sangat terburu-buru menjemputnya 2 tahun setelah cita-cita terbesarnya tercapai. Lantas ia menemui Tuhannya dengan penuh rihdo dan diridhoi.

Sedangkan pemuda tangguh nan pemberani yang bernama Farrukh itu kembali ke Madinah Al-Munawwarah dengan membawa bagiannya yang melimpah dari harta rampasan perang dan pemberian Sang Panglima. Di atas itu semua ia juga membawa kemerdekaannya yang merupakan harta paling berharga yang ia miliki, serta membawa kenangan-kenangan yang indah tentang keberaniannya di medan perang.

***

Ketika Farrukh memasuki Kotanya Rasulullah saw, ia masih sangat terlihat muda, dengan perawakan menarik dan terlihat kekar. Saat itu usianya masih 30 tahun. Ia telah berazam untuk membeli rumah sebagai tempat tinggalnya, dan mencari istri untuk tempat tenangnya. Lantas ia memberi salah satu rumah di tengah-tengah Madinah. Memilih salah satu wanita yang cerdas, mulia, dan baik agamanya yang usianya tak jauh darinya.

Farrukh sangat menikmati rumah yang Allah anugerahi untuknya. Dia menemukan ketengan hidup dalam dampingan istrinya melebihi segala hal yang ia harapkan selama ini. Hanya saja, rumah yang makmur dan penuh dengan keistimewaan, istri yang sholihah dengan perangai yang baik tersebut tak bisa mengalahkan rintihan hati Sang Penunggang kuda untuk kembali berkecamuk di tengah medan jihad. Serta tak bisa mengalahkan kerinduannya akan suara pedang yang beradu dan keinginan besarnya untuk terus menyambung Jihad di jalan Allah. Tiap kali kabar tentang kemenangan Pasukan Muslimin beredar di Madinah, kerinduannya untuk berjihad kian tak tertahankan. Dan tiap kali sampai kabar itu kepadanya, kerinduannya untuk mati syahid kian menggebu-gebu.

Di suatu hari pada saat pelaksanaan Sholat Jum’at, Farrukh mendengar Khotib Masjid Nabawi memberitakan kabar gembira atas kemenangan-kemenangan Pasukan Kaum Muslimin di banyak pertempuran. Sang Khotib juga turut menganjurkan dan mengajak orang-orang untuk terjun ke dalam Jihad di jalan Allah. Ia membujuk mereka untuk merindukan syahid di jalan menegakkan agama-Nya, dengan mengharapkan ridho-Nya.

Farrukh kembali ke rumahnya dengan hati yang mantap untuk bergabung di bawah Panji-Panji Kaum Muslimin yang tersebar seperti bintang gemintang. Lantas ia mengabarkan maksud hatinya kepada istrinya.

Istrinya berkata : “Wahai Abu Abdurrahman, kepada siapa Kau tingalkan Aku dan janin yang ada dalam kandunganku ini? Sedangkan Engkau adalah orang asing di Madinah dan tak mempunyai keluarga satupun di sini.”

Farrukh : “Aku menitipkanmu pada Allah dan Rasul-Nya. Ini Aku tinggalkan 30.000 Dinar untukmu dari apa yang Aku dapatkan selama ini dari harta rampasan perang. Jaga baik-baik harta ini dan investasikan. Gunakanlah sebagai nafkah untukmu dan anakmu dengan baik hingga Aku kembali padamu dengan keadaan selamat dan sukses. Atau Allah menganugerahiku mati Syahid sebagaimana yang Aku dambakan selama ini.”

Lantas Farrukh mengucapkan salam perpisahan kepada istrinya dan pergi menjemput harapannya.

(30.000 Dinar setara dengan 72 Milyar dengan kurs 1 Dinar = Rp. 2.400.000,-).

***

            Sang Istri yang teguh tersebut akhirnya melahirkan janin yang ada di kandungannya setelah beberapa bulan kepergian suaminya. Anaknya laki-laki, wajahnya berseri, parasnya manis, dan sedap dipandang. Sang Ibu sangat bahagia dengan kelahirannya, dan nyaris saja kebahagiannya itu membuatnya lupa akan perpisahan dengan ayah anak tersebut. Kemudian Sang Ibu menamainya “Robi’ah”.

Anak lelaki tersebut mulai menampakkan tanda-tanda keunggulan sejak masa kecilnya. Tanda-tanda kecerdasan nampak dalam setiap gerak-gerik dan ucapannya. Lantas Sang Ibu menyerahkannya pada para Mu’allimin (Guru), dan berpesan pada mereka agar mengajarinya dengan baik. Sang Ibu juga mengundang para Pendidik dan meminta mereka untuk mendidiknya dengan sempurna.

Tak lama setelah itu Robi’ah telah mahir menulis dan membaca. Kemudian ia menghafal Al-Qur’an, lantas ia membacanya dengan bacaan yang segar sebagaimana diturunkan pada hati Muhammad saw. Ia kini mulai memahami beberapa hadits Rasulullah saw yang mulai ia hafal, serta menghafal Kalam Arab yang dirasa penting, dan mengetahui beberapa urusan agama yang selayaknya ia ketahui.

Ibu Robi’ah memberi hadiah yang besar untuk para pengajar dan pendidik anaknya. Tiap kali melihat Robi’ah bertambah ilmunya, ia menambah pemberiannya pada mereka. Sang Ibu masih saja menunggu kedatangan ayahnya yang telah lama pergi. Ia berharap bisa menjadikan Robi’ah sebagai penyejuk hatinya dan ayahnya.

Hanya saja Farrukh tak kunjung kembali. Kabar tentang dirinyapun simpang siur. Ada yang mengatakan ia menjadi tawanan musuh. Ada yang mengatakan ia masih terus gencar berjihad tanpa lelah. Ada pula yang mengatakan ia mati syahid sebagaimana ia harapkan selama ini. Kabar terakhir inilah yang paling diyakini Ibu Robi’ah karena kabarnya yang terputus selama ini. Ibu Robi’ah akhirnya terdekap dalam kesehidan yang menyayat hatinya. Lantas ia meminta balasan pahala atas kesabarannya tersebut kepada Allah swt.

***

Saat itu Robi’ah sudah memasuki usia remaja dan nyaris memasuki usia pemuda. Orang-orang yang menasehati ibunya berkata : “Ini Dia Robi’ah, sudah menyempurnakan baca tulis yang semestinya dikuasai oleh pemuda susianya. Bahkan ia menggungguli teman-temannya dengan menghafal Al-Qur’an dan meriwayatkan Hadits. Andai kata Kau memilihkan pekerjaan untuknya, niscaya tak lama ia sudah bisa mengusainya dengan baik hingga ia bisa memberi nafkah untukmu dan untuk dirinya sendiri sebagaimana kebaikan yang Kau harapkan.” Lantas Ibu Robi’ah berkata : “Aku meminta kepada Allah agar memilihkan apa yang terbaik untuk dunia dan akhiratnya. Sungguh Robi’ah telah memilih ilmu untuk kehidupannya. Dan berazam kuat untuk hidup sebagai orang yang belajar dan mengajar sepanjang hidupnya.

***

Akhirnya Robi’ah menempuh jalan yang sudah ia gariskan sendiri tanpa  berleha-leha dan terlena. Ia masuk ke dalam Halaqah-Halaqah Ilmu yang memenuhi Masjid Nabawi seperti orang yang haus mendatangi mata air yang tawar. Ia melazimi sisa-sisa dari Sahabat Nabi saw yang masih hidup, di antaranya adalah Anas Bin Malik, Pembantu Rasulullah saw. Ia mengambil ilmu dari generasi awal Tabi’in seperti Sa’id Bin Al-Musayyab, Makhul Asy-Syami dan Salamah Bin Dinar.

Ia terus menyambung kelelahan malam dengan kelelahan siangnya dalam menuntut ilmu hingga upaya kerasnya tersebut benar-benar membuatnya sangat penat. Tiap kali ada seseorang yang mengajaknya berbicara dan minta ditemani, ia berkata : “Kami mendengar Syeikh-Syeikh kami berkata : “Sesungguhnya ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya hingga Kau memberikan dirimu sepenuhnya pada ilmu.”

Tak lama setelah itu nama Robi’ah mulai santer terdengar, bintangnya mulai bersinar dan saudara-saudaranya (dalam ilmu) kian banyak. Murid-muridnya sangat mencintainya dan kaumnya menganggapnya sebagai tokoh yang berpengaruh. Kehidupan Robi’ah sebagai ‘Alim Madinah berjalan dengan tenang dan nyaman. Sebagian harinya ia habiskan di rumah untuk keluarga dan saudara-saudara seimannya. Sebagiannya lagi ia habiskan di Masjidnya Rasulullah saw untuk mengajar di Majelis Ilmu. Seperti itulah alur kehidupannya hingga mencapai batas yang tak pernah ia bayangkan selama ini.

***

Pada suatu malam di musim panas yang diterangi cahaya bulan. Salah seorang penunggang kuda dalam usianya yang memasuki dekade ke 6 tiba di Madinah. Ia memasuki gang-gang Madinah dengan menunggagi kuda perkasanya menuju ke rumahnya. Saat itu ia belum tahu, apakah rumahnya masih berdiri kokoh seperti dahulu atau masa kepergiannya yang lama telah merubahnya? Sebab sudah 30 tahun lamanya ia meninggalkan Madinah.

Lantas ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri : “Apa kabar istrinya yang ia tinggalkan di rumahnya, dan apa yang saja yang telah ia lakukan?” Ia juga bertanya-tanya tentang janin yang dikandung istrinya selama ini : “Apakah sang istri melahirkan anak laki-laki atau anak perempuan? Apakah anak tersebut hidup atau mati? Kalaupun anak itu hidup, lantas bagaimana kabarnya? Seperti apa dia sekarang?” Ia juga bertanya-tanya tetang harta melimpah yang ia titipkan pada istrinya yang ia kumpulkan dari rampasan perang saat berjihad. Harta yang ia titipkan pada istrinya saat ia pergi memenuhi panggilan jihad di jalan Allah bersama pasukan Kaum Muslimin yang berangkat menaklukkan Bukhara, Samarkan dan sekitarnya.

Gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih saja dipenuhi dengan hilir-mudik para pendatang dan mereka yang bepergian. Orang-orang baru saja selesai dari Sholat Isya’. Hanya saja tak ada satupun dari mereka yang mengenal Farrukh dan tak ada satupun yang mempedulikannya, tak juga melihat kudanya yang begitu elok dan kokoh, tak pula memperhatikan pedangnya yang menggantung di pundaknya.

Hal ini tak lain karena para penduduk kota-kota besar Islam sudah tak asing dengan pemandangan Mujahidin yang pulang pergi perang di jalan Allah. Inilah yang membuat sedih Penunggang Kuda yang asing tersebut yang baru saja kembali ke Madinah.

Penunggang Kuda itu masih berputar-putar dalam pikirannya, seraya berlalu mencari jalan di gang-gang Madinah yang mulai mengalami banyak perubahan, tanpa sadar ia tiba-tiba berada di depan rumahnya. Ia melihat pintu rumah terbuka, kebahagiannya yang membuncah membuatnya lupa untuk meminta izin kepada tuan rumah, hingga akhirnya ia melewati pintu dan masuk ke halaman rumah tersebut.

Mendengar suara gesekan pintu terbuka, tuan rumah bangkit melihat dari lantai 2 rumahnya. Lantas ia melihat di bawah sinar bulan seorang lelaki asing dengan pedang dan tombak yang menempel di badannya, yang tiba-tiba masuk ke rumahnya. Sedangkan istrinya berdiri tak begitu jauh dari pandangan lelali asing tersebut.

Dalam keadaan marah Sang Tuan Rumah bergegas turun tanpa mengenakan sandal seraya berkata : “Apakah Kau menutup diri dengan datangnya malam wahai musuh Allah, lantas Kau menerobos rumahku dan hendak menyerang keluargaku? Ia bergegas menyerang lelaki asing tersebut sebagaimana singa menyerang ketika merasa sarangnya diganggu. Ia tak memberi lelaki asing tersebut kesempatan untuk berbicara.

Keduanya kini saling bertikai satu sama lain, suara keributan mereka meninggi hingga membuat para tetangga mendatangi rumah itu dari segala penjuru. Mereka melingkari lelaki asing tersebut seperti borgol yang melingkar di leher. Mereka membantu tetangganya itu.

Sang Tuan Rumah menangkap dan memegang erat leher lelaki asing tersebut seraya berkata : “Demi Allah, Aku takkan melepaskanmu wahai musuh Allah kecuali kepada Hakim.”

Lelaki asing tersebut berkata : “Aku bukanlah musuh Allah, dan Aku tak melakukan dosa apapun di sini. Ini adalah rumahku, ketika Aku menemukan pintunya terbuka, lantas Aku memasukinya.” Kemudian ia menoleh kepada orang-orang di sekitarnya seraya berkata : “Wahai Kaum, dengarkan Aku. Ini adalah rumahku, Aku membelinya dengan uangku. Wahai Kaum, Aku adalah Farrukh. Apakah tak ada dari para tetangga di sini yang mengenal Farrukh yang telah pergi selama 30 tahun berjihad di jalan Allah?”

Saat itu Ibu Si Tuan Rumah sedang tertidur pulas, lantas terbangun karena mendengar keributan di luar. Lantas ia bergegas menuju jendela kamarnya di lantai 2 dan melihat suaminya yang telah lama menghilang. Nyaris saja keheranan membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya ia berkata : “Wahai para tetangga tinggalkanlah dia, lepaskan dia wahai Robi’ah, lepaskan dia wahai anakku, dia adalah ayahmu. Silahkan pulang wahai kaum, semoga Allah memberkati kalian. Waspadalah wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya orang Kau hadapi adalah anakmu dan buah hatimu.”

Tak lama setelah kata-kata Ibu Robi’ah menyentuh segenap telinga di sekitarnya, Farrukh akhirnya bergegas memeluk Robi’ah. Kemudian Robi’ah mencium tangan dan kepala ayahnya. Lantas orang-orang di sekitarnya pulang ke rumah masing-masing. Ibu Robi’ah turun dan memberi salam kepada suaminya yang selama ini tak pernah ia sangka akan bertemu dengannya lagi di muka bumi, setelah sepertiga abad lamanya kabarnya terputus.

Farrukh duduk ke samping istrinya, lantas ia menceritakan hal ihwalnya kepadanya serta menyingkap sebab kabarnya yang lama terputus. Hanya saja sang istri tak terlalu mempedulikan ucapannya, meskipun ia sangat gembira akan pertemuannya ini dan akhirnya keluarganya bisa berkumpul kembali namun ia masih merasa takut akan kemarahan suaminya karena harta yang ia titipkan padanya telah habis tak tersisa.

 Ibu Robi’ah berkata pada dirinya sendiri : “Apa yang akan Aku katakan kalau suamiku bertanya akan harta melimpah yang ia titipkan padaku dan berpesan agar menjaganya baik-baik? Apa yang akan terjadi mana kala Aku kabarkan bahwa apa yang ia titipkan tak tersisa sedikitpun? Apakah dia akan menerima ucapanku jika Aku berkata : “Sesungguhnya Aku menginfakkan semua yang Kau tinggalkan padaku untuk pendidikan anaknya? Lantas, apakah kebutuhan seorang anak mencapai 30.000 Dinar? Apakah dia akan mempercayai bahwa anaknya itu lebih dermawan dari awan, dan tak tersisa meskipun hanya satu dinar ataupun satu dirham. Dan segenap penduduk Madinah tahu bahwa anaknya itu menginfakkan hartanya kepada ribuan saudara seimannya.”

Dalam kegalauan yang menimpa Ibu Robi’ah, suaminya menoleh padanya seraya berkata : “Wahai Ibu Robi’ah, Aku telah membawa 4000 Dinar untukmu. Tolong keluarkan harta yang Aku titipkan padamu agar kita menjadikannya satu biar nanti kita beli kebun dan rumah, kemudian hidup dengan penghasilan dari kebun tersebut sepanjang hidup kita.” Ibu Robi’ah berpura-pura sibuk dan tak menjawab pertanyaannya. Lantas Farrukh mengulang pertanyaannya : “Ayo mana harta itu biar Aku kumpulkan jadi satu?” Ibu Robi’ah menjawab : “Aku telah meletakkannya pada tempat yang semestinya. Beberapa hari ke depan Aku akan menunjukkannya padamu, Insya Allah.”

Tiba-tiba suara Adzan Shubuh memotong suara mereka berdua. Lantas Farrukh meraih bejana air dan mengambil wudhu’, kemudian bergegas menuju pintu seraya berkata : “Robi’ah ke mana?” Ia menjawab : “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan pertama, dan Aku rasa Engkau akan ketinggalan jama’ah.”

***

Farrukh akhirnya tiba di masjid, ia mendapati imam baru saja selesai dari sholatnya, lantas ia menunaikan sholat wajib. Setelah itu ia pergi ke pusara Nabi Muhammad saw dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian ia pergi menuju Raudhah, rasanya sudah lama sekali ia merindukan sholat di Raudhah. Ia pun mengambil posisi dan melakukan sholat sunnah secukupnya, lantas berdo’a dengan apa yang diilhamkan kepadanya.

Ketika ia hendak meninggalkan masjid, ia melihat ruangan utamanya telah disekat di beberapa bagiannya dengan majelis ilmu yang tiada duanya yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Ia melihat orang-orang melingkari Syeikh Majelis begitu padatnya hingga tak ada sejengkalpun lantai yang kosong.

Ia mengarahkan pandangannya pada orang-orang tersebut. Ia melihat banyak Syeikh-Syeikh sepuh yang mengenakan sorban di antara mereka. Di antara mereka juga banyak orang-orang yang khusyu’ dan menunjukkan bahwa mereka mempunyai pangkat. Banyak pula ditemui para pemuda yang duduk bersimpuh di atas lututnya sambil memegang pena dan menuliskan setiap apa yang dikatan oleh Syeikh Majelis. Mereka menjaga buku-buku mereka seperti menjaga permata yang berharga.

Mereka mengarahkan pandangannya di tempat Syeikh duduk. Mendengarkan setiap kata yang disampaikan oleh Syeikh, seolah-olah ada burung yang hinggap di kepala mereka. Para Muballigh (orang yang menyampaikan ucapan Syeikh, posisinya seperti speaker, menyampaikan pada jama’ah yang tak terjangkau suara Syeikh) menyampaikan setiap kata yang diucapkan Syeikh, hingga tak ada satupun orang yang ketinggalan meskipun tempatnya jauh dari Syeikh.

Farrukh berusaha melihat wajah Syeikh namun tak begitu nampak di matanya, lantaran posisi Syeikh yang sangat jauh darinya. Hanya saja penjelasan Syeikh membuatnya takjub, kedalaman ilmunya dan memori ingatannya yang kuat. Ia juga dibuat takjub oleh khusyu’nya orang-orang yang mengelilingi Syeikh. Tak lama setelah itu  Syeikh menutup majelisnya lantas berdiri dan pergi. Orang-orangpun bergegas ke arahnya untuk mengantarkannya keluar masjid.

Di saat inilah Farrukh menoleh kepada seseorang yang duduk di dekatnya seraya berkata : “Demi Tuhanmu, katakan kepadaku siapa gerangan Syeikh tersebut?”

Lelaki itu berkata dengan penuh rasa heran : “Bukankah kamu orang Madinah?”

Farrukh : “Ia, benar.”

Lelaki : “Lantas, adakah di Madinah seseorang yang tak mengenal Syeikh?”

Farrukh : “Maafkan saya jika saya tak mengenalnya. Sudah 30 tahun lamanya Aku meninggalkan Madinah dan tidak kembali kecuali kemaren sore.”

Lelaki : “Gak apa-apa, sini duduk di samping saya biar saya cerikatan padamu tentang Syeikh. Sesungguhnya Syeikh yang Kau dengarkan tadi adalah salah satu dari pemuka Tabi’in dan salah satu dari tokoh kaum muslimin. Dia adalah Pakar Hadits, Pakar Fiqih dan Imamnya Madinah meski usianya masih terbilang muda.”

Farrukh : “Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.”

Lelaki : “Dan Majelisnya itu –sebagaimana Kau saksikan- turut dihadiri Malik Bin Anas (Pendiri Madzhab Maliki), Abu Hanifah An-Nu’man (Pendidi Madzhab Hanafi), Yahya Bin Sa’id Al-Anshori, Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman Bin ‘Amr Al-Auza’i, Al-Laits Bin Sa’ad dan lainnya.

Farrukh : “Hanya saja Kau…”

Lelaki tersebut belum memberi Farrukh kesempatan untuk menyempurnakan ucapannya lantas memotongnya dan berkata : “Selain itu semua, Syeikh juga mempunyai sifat-sifat yang terpuji, rendah hati dan sangat dermawan. Tidaklah penduduk Madinah mengenal seseorang yang kedermawanannya melebihi Syeikh kepada teman dan anak temannya, tak pula menemukan seseorang yang lebih zuhud darinya pada dunia, dan lebih mengharapkan apa yang Allah janjikan padanya.”

Farrukh : “Tapi Kau belum menyebutkan namanya padaku.”

Lelaki : “Dia adalah Robi’ah Ar-Ro’yi.”

Farrukh : “Robi’ah Ar-Ro’yi?”

Lelaki : “Benar, namanya adalah Robi’ah. Hanya saja Ulama’ Madinah dan para Syeikhnya memanggilnya Robi’ah Ar-Ro’yi, hal ini karena ketika mereka tak menemukan dalil dalam suatu permasalahan di Kitabnya Allah dan Haditsnya Rasulullah saw, mereka pergi menemui Syeikh Robi’ah , sehingga Syeikh berijtihad dalam masalah tersebut. Ia mengkiyaskan masalah yang tak ada dalilnya dengan masalah yang ada dalilnya. Kemudian memberikan hukum pada mereka tentang masalah tersebut dengan pendapat yang bisa diterima oleh hati mereka.” (Arti kata Ar-Ro’yi adalah Pendapat).

Farrukh berkata dengan nada sedih: “Tapi Kau tak menisbatkannya padaku…”

Lelaki : “Dia adalah Robi’ah Bin Farrukh yang mempunyai panggilan Abu Abdurrahman. Dia dilahirkan ketika ayahnya meninggalkan Madinah dalam jihad di jalan Allah, lantas ibunya yang mengurusi pendidikannya. Dan saat sebelum Sholat Aku mendengar orang-orang berkata bahwa ayahnya telah tiba kemaren malam.”

            Di saat itulah air mata deras mengalir di wajah Farrukh tanpa diketahui sebabnya oleh lelaki tersebut. Kemudian Farrukh mengambil langkah menuju ke rumahnya. Ketika istrinya melihat air mata memenuhi mata Farrukh, ia berkata : “Apa yang terjadi padamu wahai Ayah Robi’ah?”

Farrukh : “Tidak terjadi apa-apa padaku melainkan kebaikan. Sungguh Aku telah melihat Robi’ah anak kita berada pada derajat keilmuan dan kemuliaan yang belum pernah Aku lihat dimiliki seseorang sebelumnya.”

Di saat seperti inilah Ibu Robi’ah mengambil kesempatan untuk berkata : “Mana yang lebih Kau cintai, 30.000 Dinar atau kesuksesan anakmu ini?”

Farrukh : “Demi Allah, kesuksesan anakku ini lebih Aku cintai, dan Aku lebih mengutamakannya dari harta dunia yang Aku miliki semuanya.”

Ibu Robi’ah : “Sungguh Aku telah menginfakkan semua yang Kau tinggalkan untuk kesuksesannya. Lantas apakah Kau rela dengan apa yang Aku perbuat?”

Farrukh : “Ia, Aku rela. Dan terima kasih atas segala hal yang Kau perbuat, semoga Kau dibalas kebaikan.” [Selesai]

***

Pujian Para Ulama’ kepada Imam Robi’ah Ar-Ro’yi :

1. Ibn Al-Majisyun : “Aku tak melihat seorangpun yang lebih hafal terhadap Sunnah melebih Robi’ah.”

2. Mu’adz Bin Muadz berkata : Aku mendengar Siwar Bin Abdullah berkata : “Aku tak menemukan orang yang lebih Alim dari Robi’ah Ar-Ro’yi.” Aku berkata : “Bahkan Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin?” Siwar : “Bahkan Hasan  dan Ibnu Sirin.”

3. Ibn Wahhab : “Robi’ah adalah orang paling dermawan, ia menginfakkan 40.000 Dinar untuk saudara-saudara seimannya.”

4. Yahya Bin Sa’id : “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih cerdas dari Robi’ah.”

***

Pesan :

1. Pilihlah bibit unggul sebagai calon anak kita. Yaitu yang baik agamanya, baik perangainya dan syukur-syukur pandai orangnya dan dari keluarga baik-baik.

2. Pilihlah sekolah yang bagus untuk anak kita, dan jangan ragu masukkan anak ke Lembaga Pendidikan Islam. Syukur-syukur bisa menyekolahkannya hingga jenjang Doktoral. Selama mampu menyekolahkan, sekolahkan setinggi mungkin, karena orang yang berilmu derajatnya selalu melebihi orang biasa.

Referensi :

- Shuwar Min Hayat At-Tabi’in hal. 133-154, Dr. Abdurrahman Ra’fat Al-Basya.

- Tadzkhiroh Al-Huffadz (1/118)

- Tahdzib Al-Kamal (9/128)

- Hilyah Al-Auliya’ (3/259)

- Shofwah Ash-Shofwah (2/83)

- Dzail Adz-Dzail hal. 101

- Tarikh Baghdad (8/420)

- Mizan Al-I’tidal (1/136)

- At-Taj (10/141)

- Wafayat Al-A’yan (2/288)

- Tarikh Ath-Thobari.

(*) Penulis adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Hadhramaut University.

 

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search