Sabtu, 21 November 2020

Aku melihatnya, kawan

Oleh : Mahasiswa Hadhramaut University(*)


Nafashadhramaut.id Tepat di sebuah desa di kab.Malang, ada sebuah pesantren yang telah berdiri 20 tahun lamanya. Bangunan itu tampak tetap kokoh beserta komplek asrama, masjid, dan madrasahnya. Nampak juga beberapa bangunan yang masih dalam proses pembangunan. Pesantren ini memang tak pernah berhenti dalam tahap pembangunannya. Selalu ada saja proyek yang harus dikerjakan.

Udara yang sejuk dan segar ala pedesaan membuat para santri nyaman dan betah. Ditambah dengan pemandangan bukit-bukit, sawah, dan juga pepohonan yang dapat dilihat langsung dari jendela asrama. Tak luput juga, seorang santri yang bernama Izul, yang senang sekali berdiam diri di belakang pesantren hanya untuk menyaksikan pemandangan indah itu. Dia tak pernah bosan memandang takdzim kuasa Allah yang satu ini, meskipun hampir enam tahun dia tinggal di pesantren.

Izul memang terkenal sebagai santri yang rajin dan pendiam. Walaupun begitu, tak segan-segan dia membantu temannya yang kesulitan dalam belajar. Dia mempunyai dua sahabat yang selalu menemaninya. Ilham dan Ahmad, namanya. Ilham adalah seorang yang ceria dan humoris. Sedangkan Ahmad adalah teman yang sangat perhatian kepada temannya.

Tengah asyik memandang pemandangan, Izul dikagetkan dengan datangnya kedua sahabatnya yang kini sudah ada di sampingnya. "Ish! kalian ini, bisa gak sih gak ngagetin?" Izul sebal. "Siapa yang ngagetin? Kamunya aja yang ngelamun, hehe." elak Ilham sambil nyengir. Terjadi obrolan ringan setelahnya, hingga akhirnya Ahmad mengajak kedua sahabatnya untuk bersiap-siap menuju kelas. 

***

Pagi itu, dimulai dengan pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam). Ustaz Hadi sedang menjelaskan makna sabar di depan kelas. "Anak-anak, ada yang tahu makna sabar yang sesungguhnya?" tanya Ustaz Hadi kepada para santri. Tak ada jawaban. Tak seorang pun yang tahu maksud pertanyaan Ust Hadi. "Baiklah, kalau kalian tidak bisa menjawabnya, biar saya sendiri yang akan menjelaskannya." kata beliau.

"Anak-anak, sabar adalah menerima semua ujian yang menimpanya dengan lapang dada. Di dalam Q.S. Al Baqarah ayat 155-156, Allah telah menjelaskan bagaimana sifat orang yang sabar: “Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Mereka adalah orang-orang yang apabila mereka tertimpa musibah, mereka berkata: 'Sesungguhnya kita ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita kembali.'" Nak, sabar bukan berarti kita berlarut-larut dalam kesedihan. Sabar pula bukan berarti tidak besedih atau tidak menangis. Sekarang ini, banyak orang yang tak paham definisi sabar yang sesungguhnya. Semoga besok-besok, jikalau di antara kalian ada yang diuji oleh Allah, kalian tidak akan lupa keterangan ini. Fahimtum?” seru Ustaz Hadi dengan bahasa Arab yang artinya: “Apakah kalian faham?”. Serentak semua santri yang berada di dalam kelas menjawab dengan bahasa Arab pula: “fahimnaa!"  kami faham.

Jam pelajaran masih terus berlangsung. Tersisa 30 menit lagi bel istirahat berbunyi. Ustaz Hadi dan ustaz lainnya masih menjelaskan mata pelajaran mereka masing-masing. Hingga seseorang dari staf pengurus datang meminta izin kepada ustaz agar Izul pergi kantor pesantren. Segera Izul bangkit dari duduknya dan pergi ke kantor pesantren. Tidak ada yang menyangka dengan kabar yang akan diterima Izul di kantor pesantren.

***

Setelah Izul mendapat kabar kepergian ibunya, dia diizinkan untuk pulang ke rumahnya. Dua minggu yang berat bagi Izul dan adik laki-lakinya. Namun, Pagi itu dia harus kembali ke pesantren. Dia ingat pesan ibunya kepadanya, bahwa dia harus tetap melanjutkan belajarnya walaupun dia tidak memiliki biaya. Di tengah kembalinya dia ke pesantren, adiknya dia titipkan kepada salah satu kerabatnya.

Ketika baru tiba, pertanyaan yang pertama kali dilontarkan sahabatnya, “Kau dari mana saja, Zul? pulang ke rumah tak memberi kabar segala lagi. Memangnya ada apa? kok pulangnya dadakan sih?” cerocos Ilham kepada Izul bak wartawan. “Nggak apa-apa kok, hanya ada urusan keluarga saja yang harus kuselesaikan.” jawab Izul pendek.

Ya, selalu itu jawaban Izul tiap kali kedua sahabatnya menanyakan alasan kepulangannya. Karena jarang sekali Izul pulang ke rumah selama itu tanpa alasan yang jelas. Mereka berdua tahu, Izul memang orang yang tertutup dan pendiam. Apalagi akhir-akhir ini seringkali dia terlihat murung dan jarang berkumpul dengan kedua sahabatnya. Maka dari itu, kali ini kedua sahabatnya lebih ‘kepo’ dari biasanya.  

Akhirnya kesempatan itu tiba. Kesempatan menanyakan apa yang terjadi pada Izul akhir-akhir ini. Hari jum’at, seminggu sebelum ujian akhir kelulusan pesantren. Ketika Izul sedang sendirian menatap pemandangan pada malam hari dari balkon asrama.

Ilham dan Ahmad berusaha mendekati Izul perlahan-lahan tanpa membuat Izul kaget. Tiba di belakang Izul, keduanya segera merangkul Izul dari samping kanan dan kiri. Merasa ada yang merangkulnya, segera Izul menghapus air mata yang terjatuh dari matanya. Melihat itu Ilham tak bisa menahan diri untuk bertanya, “kau mengapa menangis, Zul?” tanya Ilham pelan. “Tidak apa-apa, Ham.” Jelas Izul. “Kau selalu mengatakannya, Zul.” sahut Ilham.

 “Zul, kami ini sahabatmu. Kami tak bisa melihatmu murung dan sering menyendiri.” Ahmad mulai angkat suara. “Bukan kami bermaksud memaksamu untuk menjawab semua pertanyaan kami, akan tetapi ceritalah walaupun sedikit, mungkin saja dengan begitu bisa membuatmu lebih lega.” senyum Ahmad tulus.

“Cukup aku saja yang merasakan. Aku tak ingin teman-temanku turut bersedih, apalagi merasa kasihan kepadaku.” jawab Izul sambil matanya mulai berkaca-kaca. “Tidak, Zul. Apa yang kau pikirkan itu tidak benar. Walaupun tidak pernah sedikitpun kaucerita, tapi sungguh kami merasakan apa yang kamu rasakan. Kita semua di sini adalah keluarga. Ketika salah satu anggota keluarga ada yang sakit, maka anggota keluarga yang lain turut merasakan sakit. Bukankah ketika ada anggota tubuh kita ada yang sakit, maka seakan-akan semua anggota tubuh kita terasa sakit pula?"

"Terus, apakah kebersamaan kita selama ini tidak dapat membuatmu menceritakan apa yang menimpamu? Selama enam tahun kita belajar di kelas yang sama, makan bersama, berkumpul dalam satu asrama, bahkan ketika mau ngantri untuk mandipun kita bersama? Sungguh sejatinya teman yang baik adalah dia yang selalu ada ketika suka maupun duka. Tak akan pernah pergi walupun ujian yang sangat berat menimpa temannya.” Panjang Ahmad menjelaskan hakikat kebersamaan kepada Izul hingga membuatnya tak henti-henti menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ilham ikut menyimak apa yang disampaikan rekannya, sesekali ia terlihat mengusap bulir air matanya yang tak sadar ikut jatuh juga.

Akhirnya setelah kesempatan itu, Izul bersedia menceritakan apa yang menimpanya akhir-akhir ini. Tentang kepergian ibunya, biaya hidup dia dan adiknya yang dia tanggung, belum lagi cita-citanya untuk belajar di Yaman. Dengan keadaannya yang seperti ini terasa sulit baginya untuk pergi menggapai cita-citanya itu. Akan tetapi, tak henti-hentinya kedua sahabatnya memberikan semangat untuknya. “Tugas kita hanyalah berusaha dan berdoa. Biarkan Allah yang mengatur itu semua.” bijak Ahmad.  Dari kejadian ini, Izul mulai mengerti arti persahabatan. Mulai memahami makna kebersamaan. Ya, sahabatmu akan datang dengan sejuta solusi untuk masalahmu. Dia akan menyediakan seribu cara untuk membuatmu tersenyum kembali.

Di akhir perbincangan, Izul tak akan pernah lupa apa yang pernah dikatakan Ilham. Sobatnya yang terkenal humoris itu. “Zul, kaulihat bintang-bintang di langit itu? seperti itulah sahabat. Meskipun kau jauh darinya, tapi kau dapat melihatnya. Sehingga kau selalu merasa bersamanya walaupun jarak memisahkan.”

***

            Pukul 20.00 waktu Yaman, seseorang telah berdiri menatap sunyinya malam dari balkon asramanya. Kebiasaan dia sejak dulu semasa dia masih belajar di pesantren. Menatap bintang-bintang yang menghiasi langit. Angin yang sedikit kencang, mengembuskan ujung busananya. “Bagaimana kabar kalian, Kawan?” ucapnya pelan.

            Di tempat yang lain, di waktu yang sama, dua sahabatnya pun sama-sama berdiri menatap jutaan bintang yang ada di langit sana. Satu di Turki dan satunya lagi di ibukota Indonesia, Jakarta. Mereka saling bernostalgia akan manisnya kebersamaan mereka selama di pesantren, tempat mereka belajar dulu. “Sungguh, aku melihatnya, Kawan.” kata mereka bersama-sama dari tempat yang berbeda-beda.


Ditulis di Mukalla – Yaman, Agustus 2018.

(*) Penulis adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Hadhramaut University.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search