Nafashadhramaut.id | Tepat di sebuah desa di
kab.Malang, ada sebuah pesantren yang telah berdiri 20 tahun lamanya. Bangunan
itu tampak tetap kokoh beserta komplek asrama, masjid, dan madrasahnya. Nampak
juga beberapa bangunan yang masih dalam proses pembangunan. Pesantren ini
memang tak pernah berhenti dalam tahap pembangunannya. Selalu ada saja proyek
yang harus dikerjakan.
Udara yang sejuk dan segar
ala pedesaan membuat para santri nyaman dan betah. Ditambah dengan pemandangan
bukit-bukit, sawah, dan juga pepohonan yang dapat dilihat langsung dari jendela
asrama. Tak luput juga, seorang santri yang bernama Izul, yang senang sekali
berdiam diri di belakang pesantren hanya untuk menyaksikan pemandangan indah
itu. Dia tak pernah bosan memandang takdzim kuasa Allah yang satu ini, meskipun
hampir enam tahun dia tinggal di pesantren.
Izul memang terkenal
sebagai santri yang rajin dan pendiam. Walaupun begitu, tak segan-segan dia
membantu temannya yang kesulitan dalam belajar. Dia mempunyai dua sahabat yang
selalu menemaninya. Ilham dan Ahmad, namanya. Ilham adalah seorang yang ceria
dan humoris. Sedangkan Ahmad adalah teman yang sangat perhatian kepada
temannya.
Tengah asyik memandang
pemandangan, Izul dikagetkan dengan datangnya kedua sahabatnya yang kini sudah
ada di sampingnya. "Ish! kalian ini, bisa gak sih gak ngagetin?" Izul
sebal. "Siapa yang ngagetin? Kamunya aja yang ngelamun, hehe." elak
Ilham sambil nyengir. Terjadi obrolan ringan setelahnya, hingga akhirnya Ahmad
mengajak kedua sahabatnya untuk bersiap-siap menuju kelas.
***
Pagi itu, dimulai dengan
pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam). Ustaz Hadi sedang menjelaskan makna
sabar di depan kelas. "Anak-anak, ada yang tahu makna sabar yang
sesungguhnya?" tanya Ustaz Hadi kepada para santri. Tak ada jawaban. Tak
seorang pun yang tahu maksud pertanyaan Ust Hadi. "Baiklah, kalau kalian
tidak bisa menjawabnya, biar saya sendiri yang akan menjelaskannya." kata
beliau.
"Anak-anak, sabar
adalah menerima semua ujian yang menimpanya dengan lapang dada. Di dalam Q.S.
Al Baqarah ayat 155-156, Allah telah menjelaskan bagaimana sifat orang yang
sabar: “Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Mereka adalah
orang-orang yang apabila mereka tertimpa musibah, mereka berkata: 'Sesungguhnya
kita ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita kembali.'"
Nak, sabar bukan berarti kita berlarut-larut dalam kesedihan. Sabar pula bukan
berarti tidak besedih atau tidak menangis. Sekarang ini, banyak orang yang tak
paham definisi sabar yang sesungguhnya. Semoga besok-besok, jikalau di antara
kalian ada yang diuji oleh Allah, kalian tidak akan lupa keterangan ini. Fahimtum?”
seru Ustaz Hadi dengan bahasa Arab yang artinya: “Apakah kalian faham?”.
Serentak semua santri yang berada di dalam kelas menjawab dengan bahasa Arab
pula: “fahimnaa!" kami
faham.
Jam pelajaran masih terus
berlangsung. Tersisa 30 menit lagi bel istirahat berbunyi. Ustaz Hadi dan ustaz
lainnya masih menjelaskan mata pelajaran mereka masing-masing. Hingga seseorang
dari staf pengurus datang meminta izin kepada ustaz agar Izul pergi kantor
pesantren. Segera Izul bangkit dari duduknya dan pergi ke kantor pesantren.
Tidak ada yang menyangka dengan kabar yang akan diterima Izul di kantor
pesantren.
***
Setelah Izul mendapat
kabar kepergian ibunya, dia diizinkan untuk pulang ke rumahnya. Dua minggu yang
berat bagi Izul dan adik laki-lakinya. Namun, Pagi itu dia harus kembali ke
pesantren. Dia ingat pesan ibunya kepadanya, bahwa dia harus tetap melanjutkan
belajarnya walaupun dia tidak memiliki biaya. Di tengah kembalinya dia ke
pesantren, adiknya dia titipkan kepada salah satu kerabatnya.
Ketika baru tiba, pertanyaan
yang pertama kali dilontarkan sahabatnya, “Kau dari mana saja, Zul? pulang ke
rumah tak memberi kabar segala lagi. Memangnya ada apa? kok pulangnya dadakan
sih?” cerocos Ilham kepada Izul bak wartawan. “Nggak apa-apa kok, hanya ada
urusan keluarga saja yang harus kuselesaikan.” jawab Izul pendek.
Ya, selalu itu jawaban
Izul tiap kali kedua sahabatnya menanyakan alasan kepulangannya. Karena jarang
sekali Izul pulang ke rumah selama itu tanpa alasan yang jelas. Mereka berdua
tahu, Izul memang orang yang tertutup dan pendiam. Apalagi akhir-akhir ini
seringkali dia terlihat murung dan jarang berkumpul dengan kedua sahabatnya.
Maka dari itu, kali ini kedua sahabatnya lebih ‘kepo’ dari biasanya.
Akhirnya kesempatan itu
tiba. Kesempatan menanyakan apa yang terjadi pada Izul akhir-akhir ini. Hari
jum’at, seminggu sebelum ujian akhir kelulusan pesantren. Ketika Izul sedang
sendirian menatap pemandangan pada malam hari dari balkon asrama.
Ilham dan Ahmad berusaha
mendekati Izul perlahan-lahan tanpa membuat Izul kaget. Tiba di belakang Izul,
keduanya segera merangkul Izul dari samping kanan dan kiri. Merasa ada yang
merangkulnya, segera Izul menghapus air mata yang terjatuh dari matanya.
Melihat itu Ilham tak bisa menahan diri untuk bertanya, “kau mengapa menangis,
Zul?” tanya Ilham pelan. “Tidak apa-apa, Ham.” Jelas Izul. “Kau selalu
mengatakannya, Zul.” sahut Ilham.
“Zul, kami ini sahabatmu. Kami tak bisa
melihatmu murung dan sering menyendiri.” Ahmad mulai angkat suara. “Bukan kami
bermaksud memaksamu untuk menjawab semua pertanyaan kami, akan tetapi ceritalah
walaupun sedikit, mungkin saja dengan begitu bisa membuatmu lebih lega.” senyum
Ahmad tulus.
“Cukup aku saja yang
merasakan. Aku tak ingin teman-temanku turut bersedih, apalagi merasa kasihan
kepadaku.” jawab Izul sambil matanya mulai berkaca-kaca. “Tidak, Zul. Apa yang
kau pikirkan itu tidak benar. Walaupun tidak pernah sedikitpun kaucerita, tapi
sungguh kami merasakan apa yang kamu rasakan. Kita semua di sini adalah
keluarga. Ketika salah satu anggota keluarga ada yang sakit, maka anggota
keluarga yang lain turut merasakan sakit. Bukankah ketika ada anggota tubuh
kita ada yang sakit, maka seakan-akan semua anggota tubuh kita terasa sakit
pula?"
"Terus, apakah
kebersamaan kita selama ini tidak dapat membuatmu menceritakan apa yang
menimpamu? Selama enam tahun kita belajar di kelas yang sama, makan bersama,
berkumpul dalam satu asrama, bahkan ketika mau ngantri untuk mandipun kita
bersama? Sungguh sejatinya teman yang baik adalah dia yang selalu ada ketika
suka maupun duka. Tak akan pernah pergi walupun ujian yang sangat berat menimpa
temannya.” Panjang Ahmad menjelaskan hakikat kebersamaan kepada Izul hingga
membuatnya tak henti-henti menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ilham
ikut menyimak apa yang disampaikan rekannya, sesekali ia terlihat mengusap
bulir air matanya yang tak sadar ikut jatuh juga.
Akhirnya setelah
kesempatan itu, Izul bersedia menceritakan apa yang menimpanya akhir-akhir ini.
Tentang kepergian ibunya, biaya hidup dia dan adiknya yang dia tanggung, belum
lagi cita-citanya untuk belajar di Yaman. Dengan keadaannya yang seperti ini
terasa sulit baginya untuk pergi menggapai cita-citanya itu. Akan tetapi, tak
henti-hentinya kedua sahabatnya memberikan semangat untuknya. “Tugas kita hanyalah
berusaha dan berdoa. Biarkan Allah yang mengatur itu semua.” bijak Ahmad. Dari kejadian ini, Izul mulai mengerti arti
persahabatan. Mulai memahami makna kebersamaan. Ya, sahabatmu akan datang
dengan sejuta solusi untuk masalahmu. Dia akan menyediakan seribu cara untuk
membuatmu tersenyum kembali.
Di akhir perbincangan,
Izul tak akan pernah lupa apa yang pernah dikatakan Ilham. Sobatnya yang
terkenal humoris itu. “Zul, kaulihat bintang-bintang di langit itu? seperti
itulah sahabat. Meskipun kau jauh darinya, tapi kau dapat melihatnya. Sehingga
kau selalu merasa bersamanya walaupun jarak memisahkan.”
***
Pukul 20.00 waktu Yaman, seseorang telah berdiri menatap
sunyinya malam dari balkon asramanya. Kebiasaan dia sejak dulu semasa dia masih
belajar di pesantren. Menatap bintang-bintang yang menghiasi langit. Angin yang
sedikit kencang, mengembuskan ujung busananya. “Bagaimana kabar kalian, Kawan?”
ucapnya pelan.
Di tempat yang lain, di waktu yang sama, dua sahabatnya
pun sama-sama berdiri menatap jutaan bintang yang ada di langit sana. Satu di
Turki dan satunya lagi di ibukota Indonesia, Jakarta. Mereka saling
bernostalgia akan manisnya kebersamaan mereka selama di pesantren, tempat
mereka belajar dulu. “Sungguh, aku melihatnya, Kawan.” kata mereka bersama-sama
dari tempat yang berbeda-beda.
Ditulis di Mukalla – Yaman, Agustus 2018.
(*) Penulis adalah alumni Univ. Imam Syafi'i, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Hadhramaut University.
Posting Komentar