Selasa, 14 September 2021

ULAMA DAN SANTRI ( Perjuangan Meraih Kemerdekaan Bangsa Indonesia)

17 Agustus 2020 Mukalla, Hadhramaut, Yaman,

Disari dari "Api Sejarah" Karya Ahmad Mansur Suryanegara

Ditulis oleh : Tiyar Firdaus

Mahasiswa tingkat 4 Fak. Syariah – Universitas Imam Syaf’i, Mukalla, Hadhramaut, Yaman.

 

Nafashadhramaut.id | Generasi suatu bangsa akan kehilangan integritasnya ketika perjuangan pendahulunya dihapuskan dalam catatan sejarah atau dilupakan oleh generasi mudanya. Sebagaimana para Orientalis Barat mendesain sejarah Islam, Rasulullah dan para Sahabat dalam bingkai "De-Islamisasi". Ini pun terjadi pada Ulama dan Santri serta umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di tengah mundurnya negara Imperialis akibat serangan dari umat Islam, maka didatangkanlah para sarjana barat, seperti Snouck Hurgronje, J.H. Kern, dan J.L.A Brandes untuk bertugas menuliskan dan memutar balikan fakta sejarah perjuangan umat Islam.

 

Nusantara merupakan kepulauan yang terpisah-pisah dari Sabang sampai Merauke ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian selatan atau di sebut sebagai kawasan Hindia-Timur. Semuanya dikendalikan oleh para Sultan Kerajaan, seperti: Kerajaan Pasai, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, dan lainnya.

 

Memasuki abad Ke-16 M, bangsa Portugis dan Spanyol memasuki Nusantara dan merebut Malaka sebagai pusat niaga Islam di bawah kekuasaannya Afonso de Albuquerque. Kemudian serangan balik yang dilancarkan oleh kesultanan Aceh dan kesultanan Demak terhadap Kolonial guna menguasai kembali Malaka. Kemudian para penjajah Lari ke selatan dan menguasai Sunda Kelapa, namun berhasil direbut kembali oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Di lain tempat, mereka menguasai Mataram, namun Sultan Babullah bisa merebutnya kembali dari tangan Portugis, sehingga tahun 1527 M para Sultan beserta Ulama dan Santri mampu mengusir Portugis dari tanah air.

 

Memasuki abad Ke-17 M, Imperialis Belanda dan Inggris menjajah tanah air dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan East Indian Company (EIC) pada tahun 1602 M. Para penjajah mengalami perlawanan sengit dari para Ulama dan Santri, juga para Sultan: Sultan Hasanuddin Makassar, dan dari Mataram Sultan Agung, begitu pun di Jawa dipimpin Pangeran Diponegoro, di Sumatera ada Imam Bonjol memimpin perang Padri 1821-1837 M. Syekh Abdul Shomad al-Palembangi, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Muqoyyim dan Kyai Abbas di Cirebon, Habib Ali Habsyi Kwitang di Jakarta, Habib Utsman bin Husein al-Aydrus dari Bandung, Kyai Ahmad Sanusi dari Sukabumi, Syekh Syubki dikenal dengan "Ulama Bambu Runcing", dan masih banyak lagi yang tak mungkin penulis menuliskan semuanya di sini. Namun, bukti peninggalan makam para Ulama di setiap daerah setempat, juga akan cerita setiap tokoh dari penduduk setempat yang tak tercatat dalam catatan sejarawan di seluruh nusantara merupakan bukti kuat sejarah pergerakan Ulama dalam menyebarkan Islam dan melawan penjajahan.

 

Menggeliatnya sistem politik Kristenisasi, politik Etis, dan Asosiasi yang akibatnya menyengsarakan penduduk pribumi yang semakin tertindas, maka untuk membangkitkan Politik Nasional sebagai perlawanan politik Belanda, Umar Said Tjokrominoto (pada usia muda 30 Tahun) dan kawannya Haji Agus Salim meneruskan Sjarikat Islam sebagai wadah umat Islam agar mau berorganisasi menggalang persatuan dan kesatuan. Dari situlah umat Islam akan memiliki kekuatan, dan hanya dengan kekuatan itulah akan memperoleh kemenangan. Dari kemenanganlah kita akan mencapai kemerdekaan. Sehingga Sjarikat Islam berhasil membawa banyak sekali masa pendukungnya, peran serta pergerakan Sjarikat Islam sangat mempengaruhi dalam melawan penjajahan, bahkan ditakuti bangsa kolonial pada waktu itu.

 

Untuk melemahkan perlawanan Ulama, Santri dan segenap umat Islam, serta  usulan dari penasihat Belanda Snouck Hurgronje, "Tidak satu pun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan para Ulama kecuali sampai ditumpas sampai habis. Oleh karena itu, dirancanglah Ruth Less Opperattion (Operasi pembantaian tanpa belas kasih)." Maka didirikanlah sistem Politik Etis melalui perekonomian dengan diberlakukannya "Tanam Paksa" pada tahun 1830 M – 1919 M. sehingga kelaparan melanda umat Islam dan petani pribumi harus pergi meninggalkan keluarganya untuk kerja paksa. Sebab dari lemahnya sebuah perekonomian bangsa, maka akan melemah pula kekuatan dan persatuan penduduk negeri sehingga para Bupati dan Sultan banyak mengadahkan tangannya guna memenuhi kebutuhan hidup dan gaji dari hasil keringat para buruh kerja paksa pribumi dengan cara tunduk di bawah perintah Belanda.

 

     Untuk menjawab tantangan ini, para Ulama bergerak membangkitkan perekonomian pribumi melalui pasar sebagai gerbang kebangkitan nasional. Kemudian, Hadji Samanhoedi mendirikan  Sjarikat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905 dan Nahdhtotul Tujar tahun 1920 M. oleh KH. Wahab Hasbullah sebagai wadah persatuan dan kesatuan dalam memperbaiki kondisi perekonomian pribumi lewat perniagaan. Seharusnya kebangkitan Syarikat Dagang Islam atau pendirinya Hadji Samhoedi sebagai pelopor kebangkitan Nasional dijadikan peringatan "Hari Kebangkitan Nasional", sebab Sjarikat Dagang Islam merupakan awal organisasi kebangkitan Nasional pada masa itu. Namun, sejarawan Barat mencantumkan Hari Lahir Boedi Utomo lah yang dicantumkan pada Harkitnas 20 Mei 1908 M. jelas-jelas dia orang yang menolak cita-cita persatuan Indonesia dan pro dengan penjajahan Belanda, bahkan menghina Rasulullah lewat media cetaknya. Bagaimana mungkin dijuluki "Bapak Kebangkitan Nasional"?

 

Didirikan pula Politik Etis melalui edukasi, melarang anak pribumi untuk mengenyam bangku pendidikan, sebab jika generasi pribumi pandai dan cerdas, maka penjajahan akan segera berakhir, dan Nusantara akan merdeka. Para Ulama menjawab tantangan ini dengan memaksimalkan potensi pendidikan pesantren sebagai basis persiapan masa depan bangsa, maka dari sinilah akan lahir tokoh-tokoh penggerak nasional. Lahirlah tokoh nasionalis agamis KH. Ahmad Dahlan jebolan pesantren dengan mendirikan organisasi Persyarikatan Muhammadiyah 18  November 1912 M. sebagai wadah yang berperan mencerdaskan anak bangsa di tengah kebodohan akibat penjajahan, melalui lembaga pendidikan di berbagai daerah, hingga luar pulau Jawa.  Namun sayang, sejarah menulis bahwa julukan "Bapak Pendidikan" bukan KH. Ahmad Dahlan, melainkan Ki Hadjar Dewantara lewat lembaganya Taman Siswa yang lahir sepuluh tahun setelah berdirinya Muhammadiyah (1922 M). Bagaimana mungkin dijuluki "Bapak Pendidikan" sedangkan Ki Hadjar Dewantara lewat Taman Siswa memusuhi pergerakan Muhammadiyah, sekaligus bonekanya Belanda?

 

Di tengah bercerainya umat Islam dan komunikasi hubungan antara Ulama berjauhan, untuk membangkitkan sebuah persatuan Ulama maka didirikanlah "Persyarikatan Oelama" oleh KH. Abdul Halim. Sehingga para Ulama bisa terhimpun dalam sebuah organisasi demi terwujudnya nasionalisme dan kesadaran bertanah air. Kemudian di tengah melebarnya permasalahan keagamaan dan simpang siur politik Nasional, disertai runtuhnya Turki Utsmani menjadi negara sekuler, dan merebaknya Wahabi, sebab lengsernya Raja Husein (berpaham Aswaja) sang penguasa Arab oleh Ibnu Su'ud (Mertuanya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri Salafi Wahabi) yang mendapat sokongan langsung dari kerajaan Protestan Anglikan Inggris, sehingga semuanya akan berpotensi buruk terhadap bangsa dan agama.

 

Maka, Syekh Hasyim Asy'ari mendirikan "Nahdhotul Ulama" pada 13 Januari 1926 M. sebagai wadah kebangkitan para Ulama untuk meneguhkan Ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah dan membentengi umat dan bangsa dari paham Kristenisasi, Sekulerisasi dan Liberalisasi sehingga bisa terjalin dan tertata secara rapi pergerakan para Ulama. Para Ulama NU inilah yang kemudian hari akan menjadi penggerak di setiap daerah masing-masing melawan penjajahan dan melindungi tanah air. Sehingga meletusnya Resolusi Jihad Nahdhotul Ulama 22 Oktober 1945, kemudian dilanjut Resolusi jihad 7 November 1945  yang dipelopori oleh para Ulama, Santri dan kaum muslimin.

 

Di tengah berkecamuknya Perang Dunia di barat, dan perak Asia Pasifik di timur. Dalam situasi Belanda adalah musuh Jepang dalam Perang Dunia selain juga harus berhadapan dengan Amerika, China, Inggris dan Australia. Kebetulan Belanda sedang berbenturan dengan Indonesia, maka Jepang mengambil kesempatan dengan mengadakan kerja sama antara Indonesia dan Jepang. Dari kerja sama inilah akan lahir Tentara Pembela Tanah Air (Peta) dan Majelis 'Ala Islam Indonesia sebagai persiapan kekuatan melawan Eropa dalam perang Dunia. Dari kerja sama baik itulah Belanda mengalami kekalahan dan menyerah kepada bala tentara Indonesia dan Dai Nippon 8 Maret 1942 M. dan menggulung tikarnya dari bumi pertiwi.

 

Bukan berarti penjajahan berakhir. Jepang, ketika mengalami kemunduran akibat Perang Dunia, mereka menindas dan mengkhianati Indonesia dengan menjajah penduduk pribumi. Maka para Ulama mengatasinya dengan mengoptimalkan sistem yang sudah dibangun Jepang, yaitu Tentara Pembela Tanah Air, kemudian lahirlah laskar Hizbullah. Dengan persatuan dan kesatuan umat Islam sehingga dapat mengalahkan Jepang, di samping hancurnya Hirosima dan Nagasaki akibat perang dunia II, maka lahirlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Berkat ketentuan langsung dari keturunan Rasulullah, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1445/ 9 Ramadhan 1364 H. Kemudian bendera sang saka Merah Putih juga dirancang oleh Habib Idrus al-Jufri Palu, dan lagu kebangsaan kemerdekaan Indonesia dikarang oleh Habib Husein Muthahar, Jakarta.

 

Dari sini kita belajar, bahwa para Ulama selalu berkiprah sesuai dengan tantangan zamannya. Mereka tidak hanya memahami permasalahan agama, melainkan juga permasalahan duniawi dan keilmuan umum, terutama sejarah. Sehingga bisa membangun peradaban gemilang. Suatu generasi bangsa yang buta akan sejarah pendahulunya, maka tunggulah kehancurannya di masa depan. Sebagaimana Bung Karno berkata, "Berapa banyak Ulama memahami hadits, Qur'an dan fikih, namun kurang memahami sejarah, sekalipun tahu, hanya tahu debu sejarahnya, bukan api sejarahnya. Kesempatan inilah diambil Belanda guna mengabadikan penjajahannya."

 

Maka wajib bagi suatu generasi muda bangsa memahami pergerakan dan perjuangan pendahulunya, dengan harapan bisa meneruskan perjuangan pendiri bangsa menuju ke arah yang lebih baik.

Wa Allahu 'alam.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search