Kamis, 21 Oktober 2021

Makna Kehilangan

 

Makna Kehilangan

*Oleh: Imam Abdullah El-Rashied*

FB | IG | TG | WP | YT @elrashied_imam

elrashied.wordpress.com

 

Nafashadhramaut.id | Saat hadir ke dunia, tatapannya tak sempat merekam wajah Sang Ayah. Belum pernah mengecap rupa yang begitu gagah. [1]

 

Saat 6 tahun usianya, Sang Ibu membawanya jauh meninggalkan kota tercinta, tuk mengobati rindu pada belahan jiwa, yang kini berupa pusara, pun akhirnya harus mengeja air mata, karena nafas yang menyampaikan salam perpisahan tak kan lagi menyapa.

 

"Nak, segala yang datang akan pergi, setiap yang bernafas akan mati." Ibunya menjelma sebuah kenang, di tengah perjalanan pulang. [2]

 

Dua tahun berlalu, saat kakek yang merawatnya benar-benar merasa syahdu, kini justru menggoreskan kata rindu, jauh di dalam kalbu, karena tak kan lagi ada temu. [3]

 

Usianya baru 8 tahun, namun dia sudah harus mengeja makna kehilangan yang beruntun, yang begitu ketir dan memenjarakannya dalam lamun.

 

Pun, ketika dia mengikrarkan suatu perkara, kerabat dan kawan lama dengan keras menolaknya, lantas ia dikucilkan bersama orang-orang yang mengikutinya, terpojok embargo para pemuka, tiga tahun lamanya. [4]

 

Belumlah ia bernafas lega, dari larangan yang membabi-buta, kini nestapa kembali hadir menampakkan muka, seolah ia adalah sahabat karib yang selalu ingin berjumpa.

 

Yah, pengucilan memang usai, namun kesedihan teramat derai, paman yang menghalanginya dari segala badai, kini hanyalah gundukan tanah yang tak lagi ramai. [5]

 

Langit sendu belumlah redup, namun Sang Kekasih dan pendamping hidup, menyusul paman di tanah yang belum kering dan mengatup. [6]

 

Putrinya baru saja tiba dari pengasingan, mengecap setiap sudut rumah yang didesaki kenangan. Lima tahun perpisahan, telah menjejakkan rindu yang tak tertahan.

 

"Ayah di mana?" Ucapnya penuh tanda tanya.

"Dia sedang menyambut orang-orang yang pulang bersamamu." Jawab adik bungsu.

"Lantas Ibu?"

Tak ada jawaban dari adik perempuannya, selain tangis penuh iba.

Udara yang dirindukannya, kini benar-benar menyesakkan dada. Derai air mata, pada sosok Ibu yang menjelma pusara. [7]

 

Tiga tahun berlalu, kini ia akan benar-benar didera oleh rindu. "Andai pendudukmu tak mengusirku, sungguh aku lebih memilih hidup dalam pangkuanmu." Ucapnya penuh pilu, pada tanah kelahiran yang mengharu. [8]

 

Tak ada yang tersisa di kota tercinta, selain sesaknya kenangan-kenangan lama. Kehidupan baru di tanah rantau telah menunggunya, bersama segenap famili dan para pengikut setianya. [9]

 

Dua tahun berselang, ia terlibat dahsyatnya kecamuk perang, di saat pulang membawa berita menang, ia menemukan putrinya telah beristirahat dengan tenang, setelah melewati beratnya dua hijrah yang sarat akan kenang. [10]

 

Memasuki tahun ketiga ia menetap, kini paman sekaligus sudara susuannya pergi bersama bayang-bayang lenyap, menyisakan rindu yang kelu terucap. Selamat jalan duhai Singa dengan darah syahid menancap. [11]

 

Di tahun yang kedelapan, putri tertuanya menghempaskan nafas perpisahan, setelah menelan sekian kali pahitnya kesedihan. [12]

 

Pun hanya berselang satu tahun berikutnya, putri ketiganya menyusul orang-orang tercinta, yang terpendam di bawah tanah tak berdaya. [13]

 

Belum juga kering gundukan tanah yang menutupinya, anak lelaki yang ia nanti-nanti kehadirannya, menyusul mereka di alam baka, menyusul dua putra yang masih balita, yang lebih awal mendahuluinya. [14]

 

Dalam seri kehidupan yang penuh lelah, nestapa adalah kawannya yang enggan berpisah. Kehilangan demi kehilangan, perpisahan dan kepergian.

 

Justru, ketika ajal hendak menjemput jiwa yang sayu, yang terucap darinya hanyalah "Umatku, Umatku..."

Oh Baginda, rasa takut kehilangan akan umatmu telah menjadi naluri kehidupanmu, pun setelah matimu.

 

Kuharap, di akhirat kelak, kau sudi mengulurkan tangan untuk mengetaskan diri hamba yang tenggelam dalam dosa, terbelenggu rantai-rantai siksa, dari kobaran api neraka.

 

Shalawat dan Salam, semoga selalu tercurahkan padamu penuh tentram, duhai Pemimpin semesta alam.

 

Peternak Rindu.

Mukalla, Kamis 8 Rabiul Awal 1443 H - 14 Oktober 2021.

 

Catatan Kaki:

[1] Ayahnya adalah Sayyidina Abdullah bin Abdul Muththolib, wafat dalam perjalanan dagang ke Negeri Syam dan dimakamkan di Madinah.

 

[2] Ibunya adalah Sayyidah Aminah binti Wahab, wafat dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Makkah, dan dimakamkan di Abwa', sedangkan usia Nabi adalah 6 tahun.

 

[3] Kakeknya adalah Abdul Muththolib bin Hasyim, wafat ketika Nabi berusia 8 tahun.

 

[4] Kaum Kafir Quraisy mengembargo Kaum Muslimin selama 3 tahun, dari tahun ke-7 hingga ke-10 kenabian. Mereka melarang segala bentuk transaksi, termasuk pernikahan dengan Kaum Muslimin.

 

[5] Pamannya adalah Abu Tholib bin Abdul Muththolib, dia yang mengasuh Nabi setelah wafatnya Abdul Muththolib. Dia pula yang menjaga dan melindungi Nabi dari perlakuan buruk Kafir Quraisy kepada Nabi. Ia wafat di tahun 10 kenabian setelah selesainya masa embargo.

 

[6] Istrinya adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, permata wanita Quraisy. Nafas dan harta, serta hidup dan matinya semua dipersembahkan untuk dakwah Sang Nabi, demi mendapat ridho Ilahi. Ia wafat tak lama setelah wafatnya Abu Tholib. Nabi begitu bersedih atas kepergian istri dan pamannya di waktu yang berdekatan, hingga tahun ini dinamakan "Tahun Kesedihan."

 

[7] Setelah selesai masa embargo, Kaum Muslimin yang hijrah ke Habasyah kembali ke Makkah, salah satunya adalah Sayyidah Ruqoyyah binti Rasulullah saw. Ia hijrah bersama suaminya, Sayyidina Utsman bin Affan. Saat tiba di Makkah, ia benar-benar kehilangan Ibunya setelah 5 tahun berpisah.

 

[8] Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah, melewati berbagai aral yang melintang, dan segenap perlawanan dari Kafir Quraisy, kini Nabi meninggalkan kota yang sangat beliau cintai.

 

[9] Kota yang menjadi tujuan hijrah Nabi adalah

kota Yatsrib yang pada kemudian hari dikenal dengan sebutan Madinah (Madinatun Nabi: Kota Sang Nabi).

 

[10] Sayyidah Ruqoyyah wafat saat perang Badar berlangsung, pun suaminya, Utsman bin Affan tidak ikut perang lantaran diperintah Nabi untuk merawat istrinya.

 

[11] Paman sekaligus saudara susuan Nabi: Sayyidina Hamzah bin Abdul Muththolib yang usianya 2 tahun di atas Nabi. Beliau wafat dalam keadaan syahid di perang Uhud. Julukannya adalah Singa Allah & Rasul-Nya.

 

[12] Sayyidah Zainab adalah putri tertua Nabi, setelah Nabi hijrah ke Madinah, ia masih tinggal bersama suaminya, Abul 'Ash bin Ar-Rabi' yang merupakan sepupunya. Lantas Islam memisahkan keduanya 6 tahun lamanya. Berselang setahun dari kebersamaan yang tertunda, Sayyidah Zainab meninggal dunia pada tahun 8 H, lantas setahun berikutnya disusul Abul 'Ash yang masih menduda.

 

[13] Setelah Sayyidah Ruqoyyah meninggal pada tahun 2 H, Sayyidina Ustman lantas dinikahkan oleh Nabi dengan putri ketiganya, Ummi Kultsum. Namun usianya tak juga panjang, karena harus menghempaskan nafas terakhir pada bulan Sya'ban 9 H.

 

[14] Sayyidina Ibrahim putra Rasulullah saw, wafat pada tahun 9 H, saat usinya 1,5 tahun, menyusul kedua putra Rasulullah saw yang wafat lebih awal: Sayyidina Al-Qosim & Sayyidina Abdullah.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search