Oleh | Muhammad Ali Fikri
*Mahasiswa tingkat 4 Fak. Ushuluddin - Universitas Imam Syafi’i, Mukalla, Hadhramaut, Yaman*
Nafashadhramaut.id | Pada kesempatan upacara tujuh belas Agustus yang diadakan
di Universitas Imam Syaf’i, Mukalla, Hadhramaut, Yaman, aku diberikan tugas
untuk menjadi penerjemah pembina upacara. Di saat penyampaian amanat, aku
menegaskan agar para mahasiswa senantiasa semangat untuk berjuang dalam mencari
ilmu, karena itulah peran para pemuda demi mewujudkan kemerdekaan bangsa dan
negaranya.
Dalam hal ini, aku memberikan sosok contoh panutan dalam
berjuang dan pantang menyerah dari golongan sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dialah sahabat Abu Ayyub al-Anshari. Seorang sahabat yang
dikenal dengan semangatnya yang membara dalam berjuang dan berjihad di jalan
Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang prajurit yang selalu berjuang untuk menembus
tembok kokohnya Konstatinopel atau yang kini dikenal dengan Istanbul.
Beliaulah rumus kesungguhan dan keuletan dalam berjuang
dan berjihad di jalan Allah. Bahkan hingga akhir hayatnya, beliau tengah dalam
keadaan berjuang untuk menjadikan tanah Istanbul itu menjadi tanah air orang
Islam. Beliau meninggal karena sakit dalam salah satu peperangannya dan dimakamkan
di dekat dengan dinding kokoh Konstatinopel tersebut atas dasar wasiatnya.
Pada awal hijrah Nabi Muhammad saw. ke kota Madinah, rumah sahabat Abu Ayyub
al-Ashari ini yang diberkahi dengan singgahnya Nabi yang agung ini. Nabi
Muhammad tinggal di rumah sahabat Abu Ayyub hingga dibangun Masjid Nabawi dan
rumah beliau yang bersebelah dengan masjid.
Beliau merupakan salah satu sahabat yang selalu
menghadiri semua peperangan pada zaman Rasulullah saw. Bahkan semua peperangan
setelah meninggalnya Nabi, kecuali satu peperangan di mana ada anak muda yang
dijadikan panglima perang menggantikannya. Maka dia kecewa dan berkata, “Kenapa
aku tak diperbolehkan untuk mengikuti perang.” Beliau juga termasuk salah satu
sahabat Anshar yang menghadiri Baiat Aqabah. Dalam baiat tersebutlah banyak
dari kaum Anshar yang terlebih dahulu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
meskipun Nabi Muhammad belum berhijrah ke kota Madinah.
Bukan dalam peperangan saja beliau unggul dari sahabat
lainnya, akan tetapi akhlak beliau pun juga tak diragukan lagi. Disebutkan
dalam suatu riwayat bahwa sahabat Abu Ayyub bercerita, “Dulu Rasulullah saw.
tinggal di lantai dasar rumah (Abu Ayyub). Sedangkan aku dan istriku tinggal di
lantai atas. Suatu ketika ada air tumpah dari kamar yang kutinggali. Segera aku
dan Ummu Ayyub (Istrinya) mengusap air itu agar tetesannya tidak jatuh ke
tempat Rasulullah tinggal. Setelah itu kudatangi Rasulullah dan memintanya
untuk pindah ke lantai atas seraya aku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, tak
pantas bagi kami untuk tinggal di atas engkau.’ Maka beliau pindah.”
Dalam riwayat lain yang disebutkan dalam kitab
“Ma’rifatus Shahabah” karangan Abi Nu’aim al-Ashbahani, Sahabat Abu Ayyub
bercerita, “Rasulullah saw. tiba dan tinggal di rumah kami. Maka aku
mengatakan, “Di lantai atas saja, Wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Lantai
bawah lebih mudah bagiku dan bagi orang-orang yang mengunjungiku.” Maka tatkala
petang hari, Ummu Ayyub berkata kepadaku, “Wahai Abu Ayyub, apakah Rasulullah
tidur di bawah kami, lebih rendah daripada kami?” Maka kami tidak bisa tidur
hingga pagi hari, kemudian aku sampaikan apa yang dikatakan Ummu Ayyub kepada
Rasulullah saw.”
Sahabat Abu Ayyub juga terkenal akan kedermawanannya.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. berjumpa dengan sahabat Abu Bakar dan Umar
radhiyaallahu ‘anhuma di jalan. Kemudian beliau menanyai mereka sebab mereka
keluar pada jam seperti ini. Maka mereka menjawab karena mereka kelaparan.
Ternyata itu pula yang sedang dirasakan oleh Rasulullah saw. Lantas beliau
mengajak mereka menuju ke rumah Abu Ayyub karena beliau tahu bahwa Abu Ayyub
terbiasa menyimpan makanan atau susu untuk Nabi saw.
Sampai di rumah Abu Ayyub, ternyata Abu Ayyub sedang
pergi berkebun. Lantas istrinya meminta tamu-tamunya untuk menunggu sejenak.
Tak lama kemudian datanglah tuan rumah, Abu Ayyub. Kemudian Abu Ayyub
menyiapkan jamuan yang berisi kurma, dari yang muda hingga yang kering. Dan
juga beliau menyembelih kambing buat tamu istimewanya. Setelah kambing
dihidangkan, Rasulullah memotong sebagian daging dan berkata kepada Abu Ayyub,
“Berikan ini untuk Fatimah, karena dia sudah lama tidak makan seperti ini.”
Maka Abu Ayyub mengirimnya.
Suatu ketika beliau tertimpa beberapa utang sehingga
beliau minta ke salah satu sahabat agar dapat menebus utangnya. Beliau datang
ke Muawiyah, namun sayangnya ia tidak memberinya. Hingga beliau pergi ke Basrah
dan mengetuk pintu sahabat Ibnu Abbas. Lantas Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah,
aku akan melakukan apa yang telah kamu lakukan terhadap Rasulullah saw.” Maka
Ibnu Abbas membantunya untuk membayar utangnya dan memenuhi seluruh
keperluannya. Begitulah kebaikan. Kebaikan yang ditanam, pasti akan berbuah
kebaikan pula, baik itu di Dunia atau nanti di Akhirat.
Diriwayatkan pula bahwa sahabat Abu Ayyub ini menyimpan
beberapa helai janggut Nabi Muhammad saw. Mengetahui itu, Rasulullah saw.
bersabda kepadanya, “Kau takkan pernah tertimpa keburukan, Wahai Abu Ayyub.”
Beliau meninggalkan dunia yang fana ini setelah melakukan
berkali-kali peperangannya dengan pasukan Romawi, terlebih demi membuka
Konstatinopel pada tahun 50 Hijriah. Dikatakan bahwa apabila Romawi tertimpa
paceklik serta tak kunjung hujan, mereka bertabarruk dengan kuburan Abu Ayyub,
lantas Allah menurunkan hujan. Dan dibangunlah makamnya. Seiring berjalannya waktu,
makam itu tak terlihat lagi.
Dan pada akhirnya, makam itu ditemukan kembali pada zaman
Sultan Muhammad Fatih 2 dengan petunjuk Syekh Sufi, guru spiritual Muhammad
al-Fatih 2, Syekh Aaq Syamsuddin setelah menaklukkan Konstatinopel. Kemudian
Sultan Muhammad al-Fatih 2 memerintahkan agar dibangun masjid dan kubah di atas
makam Abu Ayyub al-Anshari, Sang Pejuang Konstatinopel (Istanbul).
*Sabtu 7 Jumadil Ula 1443 H / 11 Desember 2021*
Posting Komentar