Jumat, 17 Februari 2023

“Benarkah Peristiwa Isra’ Mi’raj Buktikan Allah Ada di Langit?” Oleh: Muhammad Fahmi Salim (Mahasiswa Tingkat Empat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Imam Syafi’i)



Masjidil Aqsha, tempat tujuan Rasulullah dalam perjalanan Isra Mikraj dari Masjidil Haram.

   

Dzat Allah SWT bersemayam di atas arasy. Kalau memang polemic ini tidak benar, lantas untuk apa Rasulullah SAW dimikrajkan ke langit?

 

Masih saja menjadi polemic yang tak surut, serta pertentangan yang tak berkesudahan antara kelompok yang berpandangan bahwa Dzat ilahi bersemayam di suatu tempat bernama arasy, dan kelompok lain menyakini bahwa Dzat ilahi tidak bertempat serta tidak memiliki arah layaknya makhluk.

 

Masing-masing kelompok ini mengklaim bahwa merekalah kelompok Ahlu sunnah wal Jama’ah yang mendapat jaminan dari Rasulullah berupa pemahaman lurus yang mengantarkan mereka selamat dari tergelincir ke dalam jurang neraka.

 

Istilah Ahlu sunnah wal jamaah sendiri masih dianggap sebagai istilah yang masih tabu atau dalam istilah konsentari ilmu ushul fikih disebut dengan Mujmal. Hingga akhirnya diperlukan ciri-ciri atau karakteristik yang dapat dijadikan acuan serta bukti dalam membedakan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah orisinil dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah gadungan.

 

Secara garis besar, kelompok yang dimaksudkan Rasulullah SAW dalam hadits dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki karakteristik dan semboyan berupa; Berpegang teguh kepada ajaran (sunnah) Rasulullah, dan penjelasan para sahabat setelahnya.

 

Ketika ditanya tentang karakteristik kelompok ini, Rasulullah menyatakan,

 

"ما أنا عليه وأصحابي"

 

Sebuah kelompok yang berpegang teguh atas ajaranku dan petunjuk dari para sahabatku."  (HR. Tirmidzi, no; 2565, dari Abdullah bin Amr).

Adapun pakta (ketetapan) yang digali dari sumber hukum Islam berupa Al-Quran, Sunnah, maupun konsensus para sahabat Rasulullah menyatakan bahwa Maha suci dzat ilahi dari segala penyerupaan dengan makhluk, baik dalam segi dzat, sifat, dan laku-Nya.

 

Ketetapan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa hal yang wajib diyakini oleh setiap individu yang mengklaim dirinya termasuk bagian dari Ahlus Sunnah wal Jamaah.

 

1.     Meyakini bahwa segala sesuatu yang terbersit di dalam relung hati mengenai sifat atau dzat ilahi hukumnya batil, karena perwujudan dzat ilahi tidak mampu direkam oleh nalar seseorang.

 

Poin ini bertumpu kepada ungkapan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq (Sahabat karib Rasulullah) dalam tuturnya,

 

"العجز عن درك الإدراك إدراك، والبحث عن سر ذات الله إشراك"

 

"Hakikat percaya keberadaan Allah adalah rasa tidak mampu (untuk membayangkan perumpamaan dzat-Nya). Adapun membayangkan atau menyerupakan (perwujudan) dzat-Nya adalah perbuatan syirik." 

 

2.     Bila ada ayat atau sunnah yang makna lahiriahnya (dhahir al-ma'na) menguatkan statemen (penyerupaan dzat ilahi dengan makhluk) atau diistilahkan dengan mutasyabihat, maka dikembalikan pemahaman maknanya kepada ayat atau sunnah yang bermakna gamblang (muhakkamat).

 

Semisal ayat atau sunnah yang menetapkan sifat 'al-yad' atau 'al-istiwa' maka pemahaman makna dikembalikan kepada dalil (muhakkamat) yaitu firman-Nya;

 

"لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ"

 

"Tidak ada suatu hal pun yang serupa dengan dzat-Nya. Dialah maha mendengar, lagi maha mengawasi." (QS: Asy-Syura: 11).

 

3.     Meyakini dan beriktikad bahwa segala kesempurnaan dan sifat mulia ialah milik Allah. Adapun sifat yang memiliki unsur penyerupaan dengan makhluk, sungguhlah Allah terhindar dari hal tersebut, semisal membutuhkan tempat, memiliki jisim (anggota tubuh layaknya makhluk), dan lain sebagainya.

 

Setelah menerapkan 3 hal tersebut, bagaimana menjawab klaim dugaan bahwa Allah bertempat di atas langit, berdalih dengan destinasi Mikraj Rasulullah yang berakhir di atas langit?

 

Sebenarnya hal ini bukan topik termutakhir hingga kita perlu memutar otak lebih keras lagi demi menjawabnya. Jauh sebelum itu, 800 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 500 an H, Pakar Teologi Islam Imam Fakhruddin ar-Razi membantah hal tersebut.

 

Beliau mengatakan:

 

"ولا يحصل في جهة ولا يكون مقابلاً له، وإنما يصعب على الوهم ذلك من حيث إنه لم ير شيئاً إلا في جهة فيقول إن ذلك واجب، ومما يصحح هذا أنك ترى في الماء قمراً وفي الحقيقة ما رأيت القمر حالة نظرك إلى الماء إلا في مكانه فوق السماء فرأيت القمر في الماء."

 

“Telah kita ketahui bahwa Rasulullah mendapat karunia berupa memandang Dzat Allah dalam peristiwa Isra Mikraj. Namun pandangan tersebut bukanlah sebuah dalih yang menetapkan bahwa Allah berada di suatu tempat.”

 

Bilamana ada yang menyangkal kevalidannya, dan mengklaim atas kemustahilan melihat sesuatu yang tak bertempat, maka akan kami analogikan kemungkinan tersebut dalam contoh berikut:

 

Bukankah ketika malam purnama engkau mampu melihat bias rembulan di atas permukaan air? Lantas akankah hal tersebut menunjukkan bahwa bulan purnama tersebut berada di atas permukaan air tersebut? Tentulah tidak! Karena air hanyalah memantulkan bias cahaya bulan. 

 

Sebagaimana pula langit maupun arasy hanyalah tempat yang dinisbatkan kepada Rasulullah agar mampu melihat Dzat Allah, serta hal tersebut tak mesti menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di langit dan di arasy. Sebagaimana bulan purnama yang terlihat di atas permukaan air bukanlah dalih bahwa bulan berada di atas permukaan air tersebut.

 

Dr. Salim bin Abubakar Al-Haddar, Wakil Rektor Universitas Imam Syafi'i Yaman sekaligus pemangku tertinggi Mahkamah Agung Mukalla-Hadramaut, menyimpulkan paparan al-Imam Ar-Razi dalam sebuah kalimat;

 

 

"أن محل الرؤية لا يقتضي محل المرئي"

 

"Tempat untuk melihat tidak menuntut (bahwa) sesuatu yang dilihat berada di suatu tempat." [Wallahu 'Alam]

 

===============

Penulis: @muhammadfahmi_salim

Editor: @gilang_fazlur_rahman

Layouter: @najibalwijufri

 

Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;

 

IG • FB • TW • TG | Nafas Hadhramaut Website | www.nafashadhramaut.id

 


Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search