Jumat, 17 Februari 2023

“Mensucikan Dzat Allah swt. Dibalik Peristiwa Isra’ Mi'rajnya Nabi Muhammad saw.” Oleh: M. Farhan Nawawi (Mahasiswa Tingkat Dua, Fakultas Syari’ah, Universitas Imam Syafi’i)



 

Bulan Rajab adalah salah satu bulan harom yang Allah sebut dalam Al-Qur'an. Berbagai macam kemuliaan Allah swt pamerkan di bulan tersebut. Ampunan-Nya, rahmat-Nya dan keutamaan yang lainnya menyelimuti bulan harom itu.

 

Dan tak luput dari itu semua, terjadi peristiwa agung yang di alami oleh Baginda Nabi Muhammad Saw yaitu Isra Mi'raj yang menambah kemuliaan dan kewibaan bulan Rajab.

 

Peristiwa Isra Mi'raj yang telah diabadikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:

 

"سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصا الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه  هو السميع البصير" (الإسراء :١(

 

"Maha suci (Allah Swt) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsa yang telah Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. Al- Isra :1)

 

Isra', perjalanan Nabi Muhammad Saw dengan ruh dan jasadnya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqso dengan menaiki buroq. Dan Mi'rajnya Nabi saw. yang telah masyhur sebagaimana diriwayatkan para perawi hadits. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi dalam peristiwa itu, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Nabi Muhammad Saw menembus langit ke tujuh dan puncaknya ke Sidratul Muntaha berdialog langsung dengan Allah Swt dan menerima perintah sholat.

 

Bahkan dalam riwayat dijelaskan bahwa beliau beberapa kali beliau turun ke langit ke enam bertemu Nabi Musa dan naik lagi ke Sidratul Muntaha berdialog dengan Allah swt. untuk meminta keringanan dalam perintah sholat.

 

Begitulah kisah Isra’ Mi'raj yang sudah familiar di telinga kaum muslimin. Dan tentunya sangat jelas ada syubhat yang tersembunyi di dalam peristiwa itu, dan sangat berbahaya jika tidak diluruskan kesyubhatan itu. Karena dengan narasi seperti itu dapat menarik kesimpulan bahwa Allah swt. berada di langit. Sungguh ini fitnah besar terhadap aqidah seseorang jika meyakini keyakinan seperti itu. Maka sangat perlu bagi para Ustadz dan Da'i untuk meluruskan pemikiran itu.

 

Dalam aqidah kita Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah meyakini bahwa Allah tidak butuh terhadap tempat. Tidak butuh terhadap langit, arah atas, arah bawah, arsy dsb. Karena itu semua adalah makhluk ciptaan Allah Swt, dan Allah Swt tidak butuh terhadap makhluk-Nya.

 

Dalam ilmu Aqidah atauTeologi keyakinan semacam ini dibahasakan bahwa Allah Swt memiliki sifat 'Mukholafah Lilhawadits' (wajib tidak menyerupai makhluk-Nya) Allah tidak menyerupai makhluk yang membutuhkan tempat.

 

Sebagaimana telah di tegaskan dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

 

"ليس كمثله شيء وهو السميع البصير" (الشعراء :١١)

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang maha mendengar, maha melihat" (As-Syu’ara:11)

 

Mungkin akan terlintas dibenak kita ayat-ayat Al-Qur'an yang menurut asumsi sebagian kelompok bahwa Allah ada langit. Seperti firman Allah swt.:

 

"الرحمن على العرش استوى" (طه:٥)

 

"Yang Maha Pengasih (Allah swt.) yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)

 

Para ulama menjelaskan ayat semacam itu tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata 'Istiwa', menurut para ulama memiliki banyak makna. Disamping itu apabila ada orang yang berargumen dengan ayat-ayat tersebut maka argumennya dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah swt. tidak ada di langit.

 

Allah Swt berfirman:

"وهو معكم أينما كنتم" (الحديد : ٤)

 

"Dan dia bersama kamu dimana pun kamu berada" (QS. Al-Hadid:4)

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt bersama kita di bumi bukan ada di langit.

 

Dalam ayat lain Allah swt. berfirman:

"وقال إني ذاهب إلى ربي سيهدين" (الصفات:٩٩)

 

"Dan Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk." (QS. Ashaffat:99).

 

Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim as. berkata akan pergi menuju tuhannya, padahal Nabi Ibrahim as. pergi ke palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt bukan ada di langit, tetapi ada di palestina.

 

Dan dengan beberapa ayat ini sudah sangat jelas sekali menghilangkan pemikiran bahwa Allah ada di atas langit. Tapi terkadang mereka mencari celah dengan dalil lain untuk menguatkan keyakinan mereka bahwa Allah ada di atas langit, dengan beranggapan bahwa keyakinan mereka telah di jelaskan oleh Rasulallah saw. dalam hadits shahih:

 

"قال رسول الله صلى الله عليه وسلم للجارية السوداء : أين الله ؟ قالت : فى السماء. قال : من أنا ؟ قالت : رسول الله. قال: أعتقها فإنها مؤمنة" (رواه مسلم)

 

"Rasulallah Saw bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: "Allah ada dimana?" Lalu budak itu menjawab: "Allah ada di langit." Nabi Saw bertanya: "Saya siapa?" Ia menjawab: " Engkau Rasul Allah." Lalu Nabi Saw berkata: "Merdekankalah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin." (HR. Muslim).

 

Para ulama menjelaskan bahwa ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits diatas. Pertama dari aspek kritisisme ilmu hadits (Naqd Al-Hadits). Hadits diatas menurut para ulama tergolong Hadits Mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya) sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpang siuran periwayatan hadits tersebut dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut.

 

Ada yang meriwayatkan Nabi Saw tidak bertanya dimana Allah Swt. Akan tetapi Nabi saw. bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah swt.

 

Kedua dari segi makna, para ulama melakukan ta'wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan bahwa yang dinyatakan oleh Nabi Saw sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah swt. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah swt. ada di langit, maksudnya Allah swt. itu maha luhur dan maha tinggi.

 

Ketiga, apabila ada yang berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah Swt ada dilangit, maka argumennya dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah Swt tidak ada di langit, bahkan ada di bumi.

 

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

"عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه،وسلم رآى نخامة فى القبلة فحكها بيده ورؤي منه كراهة. وقال : إن أحدكم إذا قام فى صلاته فإنما يناجي ربه أو ربه بينه وبين قبلته فلا يبزقن فى قبلته ولكن عن يساره أو تحت قدمه" (رواه البخاري)

 

"Sayyiduna Anas bin Malik Ra berkata, bahwa Nabi saw. melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada diantara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau dibawah telapak kakinya." (HR. Bukhori, [405])

 

Hadits ini menegaskan bahwa Allah Swt ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Imam Muslim, karena ini hadist riwayat Imam Bukhari.

 

Kita kembali lagi ke kisah Isra Mi'raj, jika ada yang bertanya, lalu kenapa Nabi berdialog dengan Allah di Sidratul Muntaha? Bukankah itu sudah jelas bahwa Allah berada disana? Jawabannya adalah tidak! Dialognya Nabi Muhammad saw. di Sidratul Muntaha tidak menunjukkan bahwa Allah ada disana tapi itu adalah tempat khusus untuk kemuliaan Nabi Saw yang tidak didapatkan oleh makhluk selainnya.

 

Bukankah Allah juga sudah mengajak bicara Nabi Musa dan Nabi Musa berada di bukit tursina. Lalu apakah kita langsung menghukumi bahwa Allah di bukit tursina? Tentu tidak! Bukit tursina adalah tempat khusus yang disediakan Allah untuk Nabi Musa as. Dan juga apakah kita beribadah menghadap Kakbah lalu meyakini bahwa Allah Swt berada di dalam kakbah? Tentu tidak! Kakbah hanya simbol perintah dalam syariat ketika beribadah kepada-Nya. Begitu juga dalam dialognya Nabi Muhammad Saw ketika Isra Mi'raj.

 

Dan jika ada yg bertanya, lalu Allah dimana? Allah tidak butuh mana-mana, karena mana-mana adalah tempat dan Allah tidak butuh terhadap tempat. Allah ada tanpa tempat, dan inilah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi'in.

 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata:

"كان الله ولامكان وهو الآن على ما عليه كان"

 

"Allah Swt ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat)."

 

Semoga Allah Swt selalu menjaga Iman dan Aqidah kita dan kelak meninggal dalam keadaan husnul khotimah, Amin. [Wallahu A'lam]

===============

Penulis: @farhan_nawawi

Editor: @gilang_fazlur_rahman

Layouter: @najibalwijufri

 

Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial Nafas Hadhramaut di;

 

IG • FB • TW • TG | Nafas Hadhramaut • Website | www.nafashadhramaut.id

 

 

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search