Rabu, 08 Maret 2023

“Syafaat Cinta Mugits yang Tragis” Oleh: Muhammad Gh. As (Alumni Angkatan Ke-4, Fakultas Syari’ah, Universitas Imam Syafi’i)

 

 


Cinta adalah kekuatan, mampu menguatkan yang lemah, menjadikan yang jatuh mampu berdiri tegak, mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, dan membebaskan ia yang terkekang. Seperti itulah cinta yang dibutuhkan oleh manusia. Hanya saja, pada saat yang sama, cinta dengan kekuatan ‘memiliki’ juga mampu meruntuhkan, mendatangkan kepedihan, menjadikan seorang pejuang lemah tak berdaya dikala sang kekasih lepas dari genggaman.

 

Sangat wajar dan sebuah fitrah bagi setiap insan merasakan kesedihan dan kebahagiaan, karena proses menjadi dewasa mewajibkan menelan pahit dan manisnya rasa. Merupakan sebuah kemustahilan tatkala seseorang terus berada dalam satu keadaan, entah itu suka maupun duka. Sebagaimana Ulama Nahwu menyatakan: “Dawamul Haal Minal Muhaal”.

 

Sang pemilik syafaat ‘Udhma shallallahu’alaihi wa sallam pernah memohon kepada Sang Kholiq untuk tidak menuntutnya sebab tak bisa adil mengenai cinta. Ya, cinta terbesar beliau hanya teruntuk Sayyidah Khodijah Al-Kubro, cinta yang tak tergerus masa, tak terpisahkan oleh kematian, nan abadi sampai bila-bila. Walau setelah wafatnya Sayyidah Khodijah, Sayyidah Aisyah merupakan istri tercinta beliau, tapi sejarah mencatat bahwa Khodijah-lah yang yang mendapat cinta terbesar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

 

Doa beliau menggambarkan, betapa sesungguhnya urusan hati ini manusia tak bisa mengendali, sepenuhnya menjadi kuasa Illahi dan hanya mampu berserah diri. Setinggi apa-pun derajat manusia, tetap hati dalam genggaman-Nya. Dan urusan cinta menjadi hak penuh Sang Maha Kuasa.

 

Pagi itu, tepatnya jam pelajaran ke delapan. Syeikh Abdu ar-Roziq, dosen tetap tahun pertama S2 jurusan Ilmu Hadist di International University of Binoria, Karachi, akan membahas bab nikah. Setelah membaca beberapa hadits, ada kisah menarik dari salah satu riwayat tentang kehidupan rumah tangga Sahabat Mugits dan Bariroh. Salah satu riwayat hadits yang sangat unik menceritakan cinta dua insan yang begitu menyayat hati. Cerita ini di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta di nukil dalam kitab Misykat Al-Masobih, diriwayatkan juga dari Imam lain seperti Imam Abu Dawud dengan riwayat yang saling melengkapi.

 

Bariroh, ia seorang wanita yang ditakdirkan mengecap pahitnya perbudakan sebab suatu peperangan. Beruntungnya, setelah beberapa lama berada di tangan salah satu tuannya ia dibeli oleh Sayyidah ‘Aisyah. Betapa gembiranya mendapatkan tuan dari istri Rasulullah Saw. Sayyidah ‘Aisyah Ummul Mu’minin sangat menyayanginya, ia juga merupakan budak yang sangat baik dan patuh. Meski begitu, menjadi budak tetaplah takdir yang mengerikan. Bariroh merasa kondisi semakin terpuruk setelah mendengar suaminya juga tertawan dan menjadi budak salah satu sahabat Rasulullah Saw.

 

Waktu enggan berlama lama melihat Bariroh dalam kondisi yang pahit, Sayyidah ‘Aisyah diminta sang suami untuk memerdekakannya. Tanpa pikir panjang Sayyidah ‘Aisyah memerdekankannya dengan senang hati demi keridhoan sang suami yang memikul amanah nabi.

 

Sebuah anugrah besar bagi Bariroh ketika terlepas dari perbudakan dan kembali menjadi manusia yang merdeka. Setelahnya, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam menawarkan dua pilihan; antara berpisah dari suaminya atau tetap bersamanya, mengingat bahwa wanita budak yang telah menikah dan merdeka mendapat pilihan terhadap statusnya bersama suaminya.

 

Gemuruh dan sambaran petir bak menyambar tepat di ubun – ubun Mugits yang saat itu di dekat Bariroh, ia tak menyangka jika harus berpisah dari pujaan hatinya. Hidup yang dulu terang akan berubah gelap, sandaran halus akan tergantikan dengan kasarnya tanah liat, dan hanya akan ada satu nada saja di dalam rumah yang tak akan mampu menciptakan instrument kehidupan yang indah, Ia akan merindukan suara kucuran air yang dituangkan sang istri di gelas favoritnya.

 

Apakah gelapnya kulit, tak indahnya rupa, dan miskinnya harta menjadikan Bariroh mulai bosan atau yang lainnya. Di hari merdekanya, ia tak hanya memerdekakan diri dari status budak, namun juga memerdekakan diri dari perbudakan cinta Mugits. Lalu apa arti senyuman, candaan ringan, dan sajian yang hangat nan nikmat yang disajikan saat pulang dari rumah tuannya, apakah hanya sebatas pergerakan yang tak bermakna? layaknya boneka sawah yang bergerak ketika angin menghempasnya. Kiranya begitulan pikiran Mugits saat itu.

 

Dengan wajah yang dingin Bariroh melangkah pergi dari majlis tuannya. Kepada suaminya, jangankan melihat melirikpun tak dilakukan oleh Bariroh. Mugits berdiri hanya berkhayal jika ia bisa mengejar lalu mendekap langkah Bariroh dan memohon untuk tetap bersamanya. Namun itu hanya sebuah khayalan yang tertolak oleh kata “Terwujud”.

 

Mugits, karena begitu besar cintanya, tak bisa melakukan apapun kecuali hanya menapaki jejak Bariroh yang acuh sebagai tanda akhir dari kesetiaannya. Mugits terus melangkah dengan pikiran yang kosong bagai orang linglung, bahkan sesekali air mata menetes tak ia sadari, mungkin rintik hujan yang ia harap untuk menutupi kelemahan dirinya atau hempasan debu agar memeluknya.

 

Tak disangka pemuda tampan Ibn Abbas menyaksikan Mugits dari kejauhan sedang menyusuri jalan di perkampungan Madinah mengikuti jejak telapak wanita yang sudah begitu jauh, sesekali Mugits berhenti dan mengusap matanya. Ibn Abbas datang kepada Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang saat itu bersama ayahnya, Sayyid Abbas. Ia ceritakan kejadian pahit yang dialami Mugits. Seketika itu Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa sallam menoleh ke arah pamannya Sayyid Abbas dan berkata, “Tidakkah engkau takjub akan besarnya cinta Mugits kepada Bariroh dan besarnya kebencian Bariroh pada Mugits?”

 

Entah apa yang ada dalam benak Bariroh, ia memutuskan untuk melepas suaminya. Keputusan Bariroh membuat Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa sallam menyayangkannya. Melihat derita yang dialami Mugits, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Salam mendatangi Bariroh dan memintanya menarik keputusan pisah dan kembali pada Mugits. Dengan nada rendah dan sopan Bariroh menjawab, “Apakah ini perintah dari mu wahai Rasulullah? “Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan, “Tidak, ini bukan perintah, aku hanya memberi saran dan berusaha membantu Mugits.”

 

Bariroh menanyakan kepada Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam apakah hal tersebut perintah atau bukan, ini merupakan kecerdasan Bariroh. Karena jika Rasululah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa itu sebuah perintah maka tidak ada pilihan bagi Bariroh selain kembali kepada Mugits, jika tidak maka ia akan berdosa sebab meninggalkan perintah beliau yang termaktub dalam surat Al Ahzab ayat 36. Nyatanya, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa itu bukan perintah melainkan sebuah saran atau syafa’at untuk Mugits.

 

Mendengar kejelasan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bariroh pun menjawab, “Jika hal ini bukanlah sebuah perintah darimu wahai Rasulullah, maka aku tetap pada pilihanku karena aku sudah tak memiliki kepentingan lagi dengan Mugits.” Rasulullah pun tetap mengembalikan keputusan pada Bariroh. Sebagai wanita, ia memiliki hak untuk memilih apalagi perkara kenyamanan hati. Bagaimanapun, yang dibutuhkan seorang wanita hanya lembut ya ketenangan dan sejuknya kenyamanan saat berada di sisi suaminya.

 

Ternyata, bukan buruknya rupa, bukan lemahnya raga juga bukan karena harta yang menyebabkan Bariroh melepas Mugits begitu saja. Imam Abu Dawud dalam riwayatnya bercerita bahwa sebab terbesar Bariroh membenci Mugits adalah ucapan Mugits yang menyakiti hati Bariroh, entah apa yang diucapkan Mugits, tapi yang pasti ucapannya sangat melukai membuat Bariroh cidera tanpa masa.

 

Cinta yang berakhir tragis, penuh dengan luka dan tangis, tidak akan pernah kembali menyatu walau raga telah menjadi abu. Manusia diciptakan begitu lemah sesuai firmah Allah surat An Nisa: 28, dan wanita lebih lemah dari lelaki. Wanita mungkin masih bisa menahan tangis dari luka sayatan belati tapi tidak dari goresan lidah yang tak memiliki hati.

 

Imam Ali mewanti putranya Sayyidina Al Hasan, “Wahai anakku, jagalah lisanmu karena malapetaka seseorang ada pada lisannya!?” Dan malapetaka itu terjadi pada sahabat Mugits. Namun, sebagai seorang sahabat, ia memiliki kedudukan agung karena bisa hidup bersanding dengan manusia agung.

 

Dalam fikih, pasangan suami istri yang menjadi budak sebab tawanan perang, jika sang istri telah dimerdekakan sedang sang suami tidak maka sang istri memiliki hak memilih antara melajutkan hubungan atau pisah, adapun jika sang suami kala itu telah merdeka terlebih dahulu maka sang istri tidak memiliki hak untuk pisah, pendapat ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i, Imam Malik juga Imam Ahmad. Adapun madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa istri tetap mendapat hak memilih kendati suami telah merdeka terlebih dahulu.

 

Kendati demikian jika sang suami dan istri merdeka secara bersamaan maka tidak ada hak memilih bagi kedua pasangan, begitu juga jika sang suami merdeka terlebih dahulu maka ia tidak memiliki hak memilih baik sang istri masih berstatus budak atau telah merdeka.

 

Sebagai mana hati tak bisa memilih, sirnanya cinta dalam hati seseorang terhadap kitapun tak bisa kita atur. Jika salah tak lagi termaafkan oleh yang terkasih, maka ikhlas menjadi bentangan satu-satunya agar terlepas dari nestapa. []

 

===============

Penulis: @muhammad_gh_as

Editor: @gilang_fazlur_rahman

Layouter: @najibalwijufri

 

𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙏𝙚𝙧𝙪𝙨 & 𝙎𝙚𝙗𝙖𝙧𝙡𝙪𝙖𝙨𝙠𝙖𝙣.

 

"Sᴀᴍᴘᴀɪᴋᴀɴ ᴅᴀʀɪᴋᴜ ᴍᴇSᴋɪᴘᴜɴ ʜᴀɴʏᴀ Sᴀᴛᴜ ᴀʏᴀᴛ ." HR. Bukhari

📲 𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙢𝙚𝙙𝙞𝙖 𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙢𝙞.

IG : Instagram.com/nafas_hadhramaut

TW : Twitter.com/nafashadhramaut

TG : T.me/nafashadhramaut

FB : fb.com/nafas.hadhramaut

YT : https://youtube.com/@nafashadhramaut

TT : Tiktok.com/nafashadhramaut

Web : www.nafashadhramaut.id

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

WA : http://bit.ly/Nafas-Hadhramaut-Channel

Email : nafashadhramaut.id@gmail.com

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

️ Like

🗣️ Comment

🔄 Share

👤 Tag Temanmu

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

 

 

 

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search