Cinta adalah kekuatan,
mampu menguatkan yang lemah, menjadikan yang jatuh mampu berdiri tegak, mengubah
kesedihan menjadi kebahagiaan, dan membebaskan ia yang terkekang. Seperti
itulah cinta yang dibutuhkan oleh manusia. Hanya saja, pada saat yang sama,
cinta dengan kekuatan ‘memiliki’ juga mampu meruntuhkan, mendatangkan
kepedihan, menjadikan seorang pejuang lemah tak berdaya dikala sang kekasih
lepas dari genggaman.
Sangat wajar
dan sebuah fitrah bagi setiap insan merasakan kesedihan dan kebahagiaan, karena
proses menjadi dewasa mewajibkan menelan pahit dan manisnya rasa. Merupakan
sebuah kemustahilan tatkala seseorang terus berada dalam satu keadaan, entah
itu suka maupun duka. Sebagaimana Ulama Nahwu menyatakan: “Dawamul Haal Minal
Muhaal”.
Sang pemilik
syafaat ‘Udhma shallallahu’alaihi wa sallam pernah memohon kepada Sang Kholiq untuk
tidak menuntutnya sebab tak bisa adil mengenai cinta. Ya, cinta terbesar beliau
hanya teruntuk Sayyidah Khodijah Al-Kubro, cinta yang tak tergerus masa, tak
terpisahkan oleh kematian, nan abadi sampai bila-bila. Walau setelah wafatnya
Sayyidah Khodijah, Sayyidah Aisyah merupakan istri tercinta beliau, tapi
sejarah mencatat bahwa Khodijah-lah yang yang mendapat cinta terbesar
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Doa beliau
menggambarkan, betapa sesungguhnya urusan hati ini manusia tak bisa mengendali,
sepenuhnya menjadi kuasa Illahi dan hanya mampu berserah diri. Setinggi apa-pun
derajat manusia, tetap hati dalam genggaman-Nya. Dan urusan cinta menjadi hak
penuh Sang Maha Kuasa.
Pagi itu,
tepatnya jam pelajaran ke delapan. Syeikh Abdu ar-Roziq, dosen
tetap tahun pertama S2 jurusan Ilmu Hadist di International University of Binoria, Karachi, akan membahas bab nikah. Setelah membaca
beberapa hadits, ada kisah menarik dari salah satu riwayat tentang kehidupan
rumah tangga Sahabat Mugits dan Bariroh. Salah satu riwayat hadits yang sangat
unik menceritakan cinta dua insan yang begitu menyayat hati. Cerita ini di
riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta di nukil dalam kitab Misykat Al-Masobih, diriwayatkan
juga dari Imam lain seperti Imam Abu Dawud dengan riwayat yang saling
melengkapi.
Bariroh, ia
seorang wanita yang ditakdirkan mengecap pahitnya perbudakan sebab suatu
peperangan. Beruntungnya, setelah beberapa lama berada di tangan salah satu
tuannya ia dibeli oleh Sayyidah ‘Aisyah. Betapa gembiranya mendapatkan tuan
dari istri Rasulullah Saw. Sayyidah ‘Aisyah Ummul Mu’minin sangat menyayanginya, ia juga
merupakan budak yang sangat baik dan patuh. Meski begitu, menjadi budak
tetaplah takdir yang mengerikan. Bariroh merasa kondisi semakin terpuruk
setelah mendengar suaminya juga tertawan dan menjadi budak salah satu sahabat
Rasulullah Saw.
Waktu enggan
berlama lama melihat
Bariroh dalam kondisi yang pahit, Sayyidah ‘Aisyah diminta sang suami untuk
memerdekakannya. Tanpa pikir panjang Sayyidah ‘Aisyah memerdekankannya dengan senang
hati demi keridhoan sang suami yang memikul amanah nabi.
Sebuah anugrah
besar bagi Bariroh ketika terlepas dari perbudakan dan kembali menjadi manusia
yang merdeka. Setelahnya, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam menawarkan dua
pilihan; antara berpisah dari suaminya atau tetap bersamanya, mengingat bahwa
wanita budak yang telah menikah dan merdeka mendapat pilihan terhadap statusnya
bersama suaminya.
Gemuruh dan
sambaran petir bak menyambar tepat di ubun – ubun Mugits yang saat itu di dekat
Bariroh, ia tak menyangka jika harus berpisah dari pujaan hatinya. Hidup yang
dulu terang akan berubah gelap, sandaran halus akan tergantikan dengan kasarnya
tanah liat, dan hanya akan ada satu nada saja di dalam rumah yang tak akan
mampu menciptakan instrument kehidupan yang indah, Ia akan merindukan suara
kucuran air yang dituangkan sang istri di gelas favoritnya.
Apakah gelapnya
kulit, tak indahnya rupa, dan miskinnya harta menjadikan Bariroh mulai bosan
atau yang lainnya. Di hari merdekanya, ia tak hanya memerdekakan diri dari
status budak, namun juga memerdekakan diri dari perbudakan cinta Mugits. Lalu
apa arti senyuman, candaan ringan, dan sajian yang hangat nan nikmat yang disajikan
saat pulang dari rumah tuannya, apakah hanya sebatas pergerakan yang tak
bermakna? layaknya boneka sawah yang bergerak ketika angin menghempasnya. Kiranya
begitulan pikiran Mugits saat itu.
Dengan wajah
yang dingin Bariroh melangkah pergi dari majlis tuannya. Kepada suaminya,
jangankan melihat melirikpun tak dilakukan oleh Bariroh. Mugits berdiri hanya
berkhayal jika ia bisa mengejar lalu mendekap langkah Bariroh dan memohon untuk
tetap bersamanya. Namun itu hanya sebuah khayalan yang tertolak oleh kata “Terwujud”.
Mugits, karena
begitu besar cintanya, tak bisa melakukan apapun kecuali hanya menapaki jejak
Bariroh yang acuh sebagai tanda akhir dari kesetiaannya. Mugits terus melangkah
dengan pikiran yang kosong bagai orang linglung, bahkan sesekali air mata menetes
tak ia sadari, mungkin rintik hujan yang ia harap untuk menutupi kelemahan
dirinya atau hempasan debu agar memeluknya.
Tak disangka pemuda
tampan Ibn Abbas menyaksikan Mugits dari kejauhan sedang menyusuri jalan di
perkampungan Madinah mengikuti jejak telapak wanita yang sudah begitu jauh,
sesekali Mugits berhenti dan mengusap matanya. Ibn Abbas datang kepada
Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang saat itu bersama ayahnya, Sayyid
Abbas. Ia ceritakan kejadian pahit yang dialami Mugits. Seketika itu Rasulullah
Sallahu ‘Alaihi Wa sallam menoleh ke arah pamannya Sayyid Abbas dan berkata,
“Tidakkah engkau takjub akan besarnya cinta Mugits kepada Bariroh dan besarnya
kebencian Bariroh pada Mugits?”
Entah apa yang
ada dalam benak Bariroh, ia memutuskan untuk melepas suaminya. Keputusan
Bariroh membuat Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa sallam menyayangkannya. Melihat
derita yang dialami Mugits, Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Salam mendatangi
Bariroh dan memintanya menarik keputusan pisah dan kembali pada Mugits. Dengan
nada rendah dan sopan Bariroh menjawab, “Apakah ini perintah dari mu wahai
Rasulullah? “Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan, “Tidak, ini bukan
perintah, aku hanya memberi saran dan berusaha membantu Mugits.”
Bariroh
menanyakan kepada Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam apakah hal tersebut
perintah atau bukan, ini merupakan kecerdasan Bariroh. Karena jika Rasululah
Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa itu sebuah perintah maka tidak ada
pilihan bagi Bariroh selain kembali kepada Mugits, jika tidak maka ia akan
berdosa sebab meninggalkan perintah beliau yang termaktub dalam surat Al
Ahzab ayat 36. Nyatanya, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengatakan
bahwa itu bukan perintah melainkan sebuah saran atau syafa’at untuk
Mugits.
Mendengar
kejelasan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bariroh pun menjawab, “Jika
hal ini bukanlah sebuah perintah darimu wahai Rasulullah, maka aku tetap pada
pilihanku karena aku sudah tak memiliki kepentingan lagi dengan Mugits.” Rasulullah
pun tetap mengembalikan keputusan pada Bariroh. Sebagai wanita, ia memiliki hak
untuk memilih apalagi perkara kenyamanan hati. Bagaimanapun, yang dibutuhkan
seorang wanita hanya lembut ya ketenangan dan sejuknya kenyamanan saat berada di
sisi suaminya.
Ternyata, bukan
buruknya rupa, bukan lemahnya raga juga bukan karena harta yang menyebabkan
Bariroh melepas Mugits begitu saja. Imam Abu Dawud dalam riwayatnya bercerita
bahwa sebab terbesar Bariroh membenci Mugits adalah ucapan Mugits yang
menyakiti hati Bariroh, entah apa yang diucapkan Mugits, tapi yang pasti
ucapannya sangat melukai membuat Bariroh cidera tanpa masa.
Cinta yang
berakhir tragis, penuh dengan luka dan tangis, tidak akan pernah kembali
menyatu walau raga telah menjadi abu. Manusia diciptakan begitu lemah sesuai
firmah Allah surat An Nisa: 28, dan wanita lebih lemah dari lelaki. Wanita
mungkin masih bisa menahan tangis dari luka sayatan belati tapi tidak dari
goresan lidah yang tak memiliki hati.
Imam Ali mewanti
putranya Sayyidina Al Hasan, “Wahai anakku, jagalah lisanmu karena malapetaka
seseorang ada pada lisannya!?” Dan malapetaka itu terjadi pada sahabat Mugits.
Namun, sebagai seorang sahabat, ia memiliki kedudukan agung karena bisa hidup
bersanding dengan manusia agung.
Dalam fikih,
pasangan suami istri yang menjadi budak sebab tawanan perang, jika sang istri
telah dimerdekakan sedang sang suami tidak maka sang istri memiliki hak memilih
antara melajutkan hubungan atau pisah, adapun jika sang suami kala itu telah
merdeka terlebih dahulu maka sang istri tidak memiliki hak untuk pisah,
pendapat ini merupakan pendapat madzhab Imam Syafi’i, Imam Malik juga Imam
Ahmad. Adapun madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa istri tetap mendapat
hak memilih kendati suami telah merdeka terlebih dahulu.
Kendati
demikian jika sang suami dan istri merdeka secara bersamaan maka tidak ada hak
memilih bagi kedua pasangan, begitu juga jika sang suami merdeka terlebih
dahulu maka ia tidak memiliki hak memilih baik sang istri masih berstatus budak
atau telah merdeka.
Sebagai mana
hati tak bisa memilih, sirnanya cinta dalam hati seseorang terhadap kitapun tak
bisa kita atur. Jika salah tak lagi termaafkan oleh yang terkasih, maka ikhlas
menjadi bentangan satu-satunya agar terlepas dari nestapa. []
===============
Penulis: @muhammad_gh_as
Editor: @gilang_fazlur_rahman
Layouter:
@najibalwijufri
𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙏𝙚𝙧𝙪𝙨 & 𝙎𝙚𝙗𝙖𝙧𝙡𝙪𝙖𝙨𝙠𝙖𝙣.
"Sᴀᴍᴘᴀɪᴋᴀɴ
ᴅᴀʀɪᴋᴜ ᴍᴇSᴋɪᴘᴜɴ ʜᴀɴʏᴀ Sᴀᴛᴜ ᴀʏᴀᴛ ." HR. Bukhari
•
📲 𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙢𝙚𝙙𝙞𝙖 𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙢𝙞.
IG :
Instagram.com/nafas_hadhramaut
TW :
Twitter.com/nafashadhramaut
TG :
T.me/nafashadhramaut
FB : fb.com/nafas.hadhramaut
YT :
https://youtube.com/@nafashadhramaut
TT :
Tiktok.com/nafashadhramaut
Web :
www.nafashadhramaut.id
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
WA :
http://bit.ly/Nafas-Hadhramaut-Channel
Email :
nafashadhramaut.id@gmail.com
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
❤️ Like
🗣️ Comment
🔄 Share
👤 Tag Temanmu
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Posting Komentar