Jumat, 15 September 2023

“Hukum Pernikahan Non Sayyid dengan Syarifah” Oleh: Ali Rahman bin Saniwi (Mahasiswa Tingkat Empat, Fakultas Syari’ah, Universitas Imam Syafi’i)



Sering menjadi persoalan diantara masyarakat mengenai pria yang bukan habaib itu menikahi wanita syarifah yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah Saw.  meskipun sah namun tidak memenuhi hak wanita dan walinya secara syar’i yaitu tiada kesetaraan pasutri dalam nasab (kafa’ah).

 

Dan kafa’ah inilah yang disebut oleh ulama dengan Syarat Luzum bukan Syarat Sah, karena sang wali dari wanita Syarifah boleh membatalkan pernikahan tersebut sebab tiada kesetaraan dalam nasab. Sedangkan kesetaraan nasab adalah urusan yang harus dilestarikan menurut semua jumhur ulama islam kecuali Imam Malik Ra.

 

Maka bagi Syarifah yang sebagai masyarakat yang bermadzhab Syafi’iyyah untuk memilih calon yang  Sayyid agar melestarikan kafa’ah dalam nasab, dan bagi orang tua-nya juga hendak menjaga nasab mulia ini ketika memilihkan atau sebelum merestui pasangan untuk putri syarifah, sebab urusan kafa’ah hal yang harus dijaga dan ini bukan diskriminasi syariat.

 

sebagaimana kanjeng Nabi Muhammad Saw. bersabda :

)‌تخيروا ‌لنطفكم، فإن العرق نزاع، ‌فانكحوا ‌الأكفاء وأنكحوا إليهم(

 

“Pilihlah calon menantu kalian, sebab asal keturunan itu pokok perselisihan, maka nikahilah yang sekufu’ dan nikahkan anak kalian pada mereka.”  HR. Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi.

 

Sebagaimana secara logis; seorang raja menikahkan putrinya dengan anak raja yang lainnya, maka hal yang wajar dan masuk akal kalau  nasab yang sekufu’ antara Sayyid dan Syarifah itu dilestarikan dalam pernikahan.

 

Al-Imam As Suyuthi Ra. dalam kitab al-Khasaish al-Kubro  dan al-Imam Ibnu Hajar al-Haitamy asy-Syafi’i dalam kitab-nya Tuhfah al-Muhtaj mengutarakan, “Termasuk dari perlakuan khusus syariat untuk keturunan Rasulullah Saw. yaitu tidak ada nasab kaum manusia yang sekufu dengan nasab keturunan puterinya yakni Fatimah Az Zahra dalam pernikahan.”

 

Dan Imam Abu Bakar al-Kasaani al-Hanafi Ra. dalam kitab Badhai’ as-Shanai’ menyampaikan alasan kenapa harus sekufu’ dalam nasab, “Sebab rasa kebanggaan dan aib itu terjadi dalam urusan nasab-nasab, maka nasab yang penuh kekurangan itu setara dengan kerendahan nasab.”

 

Al-Imam Ibnu Qudamah Al Hambali Ra. juga memberi alasan dalam kitabnya al-Mughni, “Orang arab itu memperhitungkan kesetaraan dalam nasab, dan tidak menyukai pernikahan para majikan dengan budak, karena mereka memandang hal itu adalah kekurangan dan aib.”

 

Ahlul bait Saadah Bani Alawi dalam pernikahan ini juga ada yang menggunakan metode Imam Ahmad bin Hambal r.a yang mana mengambil keputusan melalui keridhoan dari seluruh kerabat yang dekat dan yang jauh, dan bagi salah satu mereka yang tidak ridho maka ada hak untuk membatalkan pernikahan ini, sebab aib pernikahan tidak sekufu’ ini menjalar kepada mereka.

 

Nah, bila ada yang bertanya, “lantas bagaimana Sayyidina Ali bin Thalib Ra. menikahkan putri-putri Fatimah Az Zahra dengan yang bukan Bani Hasyim?”

 

Jawabannya; sebab pada waktu itu Ahlul Bait, kerabat dekat dan yang jauh itu tidak menyebar ke seluruh dunia sehingga masih bisa sempat mendapatkan hasil keridhoan dari semua kerabat yang memiliki hubugan dengan nasab mulia ini, sedangkan sekarang ini sudah memencar dan susah mendapatkan keridhoan dan keputusan mereka.

 

Yang jelas dalam kaca mata syariat adalah sebuah problematika meskipun dihukumi sah tapi tidak dianggap baik bila tidak sekufu, apalagi pernikahan yang tidak sekufu ini menyebabkan putusnya nasab Nabi Muhammad saw. sebagaimana dalam qoidah syariat :

 

"أَنَّ الْفَرْعَ يَتْبَعُ الْأَبَ فِي النَّسَبِ"

 

“Bahwa anak mengikuti nasab ayahanda-nya”

 

Bahkan dalam ilmu Maqashid asy-Syari’ah dijelaskan bahwa sebagaimana agama, jiwa, harta dan akal itu wajib di jaga, maka nasab itu wajib dijaga karena berkaitan atas kehormatan wanita, sedangkan pernikahan yang tidak sebanding ini tidak mampu mengatasi rasa aib bagi nasab mulia dari keluarga wanita syarifah ini. Pada akhirnya komitmen seumur hidup itu menghancurkan visi dan misi pernikahan, seperti kerancuan interaksi dalam keluarga, kerabat, dan memudarkan keharmonisan rumah tangga.

 

Fanatik menghujah boleh nikahin Syarifah

 

Sebagian orang yang malah berani menikahi Syarifah,  mereka dibutakan cinta, lalu menghujah dengan Al Quran dan Hadits dengan tanpa pemahaman dalil yang solid dari para ulama dan malah mengambil pemahaman sendiri, sampai tidak  menerima kebenaran kenyataan hak syar’i dari ulama, itu semua demi kebutuhan nafsu dari keegoisan akal.

 

Perlu kita ketahui, bahwa Al Quran dan Hadits itu tidak pernah terang-terangan, “Kalau kaca mata syari’at tidak memandangi kesetaraan nasab dan agama dalam pernikahan.”

 

Malahan, Al Qur’an dan Hadits sangat menerangkan perbandingan status dan menegaskan, “Keutamaan orang takwa dibandingkan dengan orang yang tidak takwa, segolongan manusia memiliki keistimewaan ketimbang golongan yang lainnya, begitu juga keutamaan keluarga Nabi saw. dengan yang non ahlul bait, dan keutamaan orang arab ketimbang dengan orang yang non arab, bahkan suku-suku arab yang tinggi seperti Quraisy juga berbeda keutamaannya dari suku arab yang lain, ini menandakan kalau syari’at sangat memperhatikan jalur keutamaan antar perbedaan derajat nasab dan agama.”

 

Dan perlu kita tanami dalam hati, kebanggaan Ahlul Bait menjaga kelestarian nasab ini bukanlah kebanggaan yang menimbulkan sifat sombong, melainkan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberi Allah swt. Dan menjaga kehormatan diri dari aib dan kerendahan, maka hal ini adalah kebaikan dan pastinya dilakukan juga oleh orang yang berakal sehat dan baik kehormatannya.

 

Sebagaimana untain kanjeng Nabi Muhammad saw. bersabda :

"أنا سيد ولد آدم ولا فخر"

 

“Aku adalah tuan-nya anak Adam, dan tiada suatu kebanggaan apapun”

 

Ada tiga dalil yang sering mereka sebutkan dan kita sering dengar, jadi jangan sampai kita tertipu apalagi sampai mengikuti !

 

Pertama, ayat al-Qur’an yang berbunyi :

"يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا ‌خَلَقۡنَٰكُم ‌مِّن ‌ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ" [الحجرات: 13]

 

Dalam dzahir ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan jenis, bangsa, ataupun suku  itu demi saling mengenal agar menciptakan kesatuan, dan orang takwa adalah orang yang paling mulia. Jadi tiada makna dari ayat ini kalau nasab bukan termasuk kafa’ah dalam pernikahan, sedangkan dalil yang lainnya yang menjelaskan bahwa dalam pernikahan itu mesti kafa’ah dalam nasab.   

 

Yang kedua, Hadits Nabi yang berbunyi :

"إِذَا ‌جَاءَكُمْ ‌مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وخلقه ‌فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ ‌فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ"

 

Dzahir hadits ini juga tidak menerangkan “syariat tidak mengukur nasab dalam pernikahan.”   Akan tetapi, bila kita meridhoi baiknya agama seseorang serta akhlaknya maka nikahkan lah dia, bila tidak akan menimbulkan fitnah besar, jadi hanya menerangkan tentang agama dan tiada kata nasab.

 

Yang ketiga, menghujat perbuatan nabi Muhammad سaw. yang menikahkan seorang budak Zainab bintu Jahsy dengan majikan-nya yaitu Zaid bin Haritsah, lalu juga menikahkan Fatimah bintu Qois dengan Usamah bin Zaid.

 

Jawaban-nya; ini adalah perbuatan rasulullah saw. yang dikhususkan oleh syariat secara khusus dalam hak tindakan beliau bisa menikahkan siapapun dari wanita dengan siapapun dari lelaki, ulama juga beragumentasi bahwa Zainab dan Fatimah juga tidak menyukai pernikahan tersebut, akan tetapi keduanya ridho kalau sudah diperintahkan oleh nabi agung yang mulia, maka wajib melaksanakannya.

 

Hingga Rasulullah saw. bersabda :

"طاعة الله وطاعة رسوله خير لك"

 

“Bahwa menta’ati Allah dan  Rasul-nya itu lebih  baik untukmu”

 

 

 

Sumber :

1- Al-Ajwibah Al-Ghaliyah, karya : Sy. Zainal Abidin al-Alwi al-Husaini, Hal :107, Cet.

2- Tuhfah al-Muhtaj, karya : Imam Ibnu Hajar al-Haitamy, Juz : ٩, Hal :  180, Cet. Dar al-Kotob Al-Ilmiyyah

3- Al-Mughni, Karya : Imam Ibnu Qudamah, Juz : ٩, Hal 321, Cet. Dar al-Hadits al-Qohirah

4- Badhai’ as-Shanai’, Karya : Imam Abu Bakar al-Kasaani, Juz : ٢, Hal : 470, Cet. Dar al-Fikr

 

===============

Penulis: @el_ghubar.mubarok

Editor: @gilang_fazlur_rahman

Layouter: @najibalwijufri

                                                                                                  

𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙏𝙚𝙧𝙪𝙨 & 𝙎𝙚𝙗𝙖𝙧𝙡𝙪𝙖𝙨𝙠𝙖𝙣.

 

"Sᴀᴍᴘᴀɪᴋᴀɴ ᴅᴀʀɪᴋᴜ ᴍᴇSᴋɪᴘᴜɴ ʜᴀɴʏᴀ Sᴀᴛᴜ ᴀʏᴀᴛ ." HR. Bukhari

📲 𝙄𝙠𝙪𝙩𝙞 𝙢𝙚𝙙𝙞𝙖 𝙨𝙤𝙨𝙞𝙖𝙡 𝙠𝙖𝙢𝙞.

IG : Instagram.com/nafas_hadhramaut

TW : Twitter.com/nafashadhramaut

TG : T.me/nafashadhramaut

FB : fb.com/nafas.hadhramaut

YT : https://youtube.com/@nafashadhramaut

TT : Tiktok.com/nafashadhramaut

Web : www.nafashadhramaut.id

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

WA : http://bit.ly/Nafas-Hadhramaut-Channel

Email : nafashadhramaut.id@gmail.com

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

 

 

 

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search